Fall in Love

77 9 6
                                    

  Maulana Al Qasshi betul-betul ingin menjadi seorang Hafizh Quran, namun ia sukar mendapatkannya karena kemampuannya yang kurang dan jarangnya motivasi yang menaburi relung qolbunya. Namun ia tetap teguh pada cita-cita nun mulianya itu. Seringkali ia bertengger di dahan pohon kala matahari terbenam, memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa belajar Al Quran.
"Hm, iqro saja aku belum rampung." begitu gumamnya sambil tersenyum. Aneh senyumannya itu. Karena memang, sulit baginya untuk belajar Al Quran karena ketika ia melihat indahnya angka-angka di papan tulis hitam itu, mereka -angka angka itu- menari-nati di pikiran Lana. Ia jauh dari kata "cukup" dalam hal ini.

"Makanya, melihat yang seperti itu saja aku sudah sangat pening, seperti terdengar derak di kepalaku. Macam ada yang hendak menerobos keluar." Aih dramatis sekali.

Abdurrahman dan Yusuf ketika di kelas juga sesekali terisak tangisannya. Karena, mereka juga mempunyai cita-cita yang sama dengan Lana; membanggakan kedua orang tuanya. Mereka -Abdurrahman, Yusuf dan Lana- bukanlah orang kaya, ayahnya tidak berjas pula tidak berdasi. Abdurrahman ayahnya adalah seorang nelayan di perairan Teluk Penyu. Saban hari, berangkat subuh pulang magrib. Sedih Ucing menunggunya. Ucing adalah kucing temuan ayahnya ketika pulang dari berlayar. Kucing yang manja, kerap kali kalap bahwa dirinya adalah seekor kucing. Ia seringkali menerobos masuk kamar Abdurrahman, karena memang mudah untuk diterobos. Pintunya hanya bertiraikan sebuah kain, tinggal digeser. Itupun sebenarnya tidak perlu. Ayah Abdurrahman selalu berpesan kepadanya, untuk jangan sampai tidak menyentuh Al Quran sama sekali dalam sehari.

"Nak, kau lebih pandai dari ayah. Kau pun sudah tau, bahwa kau yang bisa menyelamatkan ayah nanti, dengan senjata Al Quranmu. Jadikan ia sahabatmu. Perlakukan ia dengan baik. Ayah memang tidak bisa membacanya, oleh karena itu, ayah bangga punya anak yang soleh seperti kamu. Tampan pula, macam ayahnya , hhe." jelas kerutan di ujung matanya, ada sekitar empat garis. Ayahnya ini sangat suka berseragam,  oleh karena itu, ia menjadwal sendiri pakaian seragam itu. Hari senin, ia memakai kaos oblong berwarna putih. Di punggungnya ada gambar orang berpeci, mengacungkan jari telunjuk. Ada angka "2" yang terlihat gagah di sana. Dengan tulisan yang terjuntai "Mbangun Cilacap Bercahaya." itu seragamnya. Seragam kaos oblong putihnya itu ia pakai ketika hari senin dan kamis.

  Mereka bertiga egaliter. Alunan indah yang mereka dengar ketika sekilas melintas di depan masjid Nurul Amal, Muhammad Thoha menghujamkan sebuah perasaan yang unik dan mereka idam-idamkan. Mereka mulai jatuh cinta, kepada Al Quran. Dahsyat.

Orang AsingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang