Flashback #1

87 30 28
                                    

Adila's pov

"Adila dari pada dua minggu di rumah nganggur mulu mendingan mama daftarin kamu di summer camp ya," ucap mamaku yang sedari tadi melihatku guling-gulingan di sofa.

"Summer camp?" tanyaku pada diriku sendiri. "Di Indonesia mana ada istilah summer ada mah summer tuh dua bulan. Ini apaan boro-boro dua bulan, satu bulan saja tidak sampai. Kita liburannya cuman dua minggu," cibirku.

"Ya ampun, summer camp itu istilah doang Dila. Itu kayak camping gitu loh, nanti di sana kamu ketemu sama teman-teman baru. Seru deh pokoknya," oceh mamamku.

Aku masih menatap mamaku dengan bingung, "Dari mana asal-usulnya summer camp ini?" tanyaku. 

"Itu, teman arisan mama yang buat acaranya gitu, dijamin bagus kok. Ntar bakalan banyak permainan gitu. Pokoknya seru deh," lanjut ocehan mamaku dengan antusias.

Belum sempat membalas ocehan mamaku, ia langsung berkata, "Kamu ikut yah? nanti mama suruh papa daftarin."

Alhasilnya aku hanya mengiyakan, pasrah dengan keputusan mamaku yang tidak bisa diganti.

~ ~ ~

Author's pov

Adila mulai menyusun barang-barangnya dan memeriksa sekali lagi untuk mempastikan apakah masih ada yang tertinggal atau tidak. Setelah semuanya sudah tersusun rapi dia membawa keluar kopernya dan memasukkannya ke bagasi mobil. Perasaan gugup dan semangat bercampur aduk di dalam dirinya. Saat itu Adila masih berumur sebelas tahun dan masih duduk di bangku kelas enam SD namun berhubungan saat itu sudah libur kenaikan kelas, ralat libur kelulusan, dia sudah terhitung anak kelas tujuh SMP.

Selama perjalanan dari rumah menuju tempat lokasi Adila hanya memainkan jari-jarinya salah satu kebiasaan Adila saat dia gugup. Adila termaksud anak yang sangat suka bersosialisasi menurutnya memiliki banyak teman itu adalah hal yang bagus. Belum pernah seumur hidupnya dia merasakan istilah fake friends. Hidupnya masih seringan kapas dan belum ternodai dengan drama-drama gila yang akan ia rasakan kelak.

~ ~ ~

Adila's pov

"Kita sudah sampai Dil," ucap mamaku. Aku menganggukan kepalaku sebagai respon dan bergegas turun dari mobil. Papa menurunkan koperku dari bagasi dan menyerahkannya ke diriku. Aku berjalan pelan ke arah kerumunan orang-orang yang terdiri dari anak SD, SMP, dan SMA.

Di sinilah aku berdiri, di sebuah lapangangan luas dengan bus-bus yang sudah terparkir rapih di sebelah kanan lapangan ini. Beberapa ada yang sudah terlihat akrab dengan teman barunya. Suasana seperti ini membuat diriku menjadi linglung sendiri, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, tidak lama kemudian seorang pria berkaus putih polos yang sedang memegang sebuah toa speaker mengumumkan sesuatu dengan alat tersebut.

"Baiklah anak-anak, nama Kakak adalah Raditya. Kalian boleh manggil saya Kak Adit untuk singkatnya," ucapnya.

Katanya kita akan dibagi menjadi enam kelompok dan semuanya dicampur dengan rata cowok-cewek. Anak-anak SD,SMP, dan SMA juga disatukan. Beberapa dari mereka membawa temannya, berbeda dengan aku yang benar-benar sendiri dan tidak mengenal siapapun. Aku hanya berdiri sendirian dengan canggung, berharap agar namaku segera dipanggil dan diletakan di kelompok yang seru.

"Baiklah sekarang adalah pembentukan kelompok tiga, bagi yang dipanggil namanya mohon berdiri di belakang Kak Anna. Lalu orang yang merasa baru saja di sebut namanya melambaikan tanganya kepada kami.

- Adila Tiara Agatha

- Aina Anindya Putri

- Galang Naindra Aksara

- Kevlar Putra Alexandar

- Maisha Ghita Arsanti

- Tristan Fauzan Prabawa

"Tuh. nama kamu udah dipanggil, mama tinggal ya. Kalau ada apa-apa kamu telpon aja mama ok?" ucap mamaku.

"Iyaaaa ma," jawabku. Lalu mama dan papa mencium keningku secara bergantian. Setelah itu mereka berdua masuk ke mobil, dan membuka jendela mobil untuk melambaikan tangannya. Setelah itu papa menjalankan mobilnya dan aku memandang mobil tersebut mulai berjalan menjauh hingga hilang dari pandanganku.

Tidak lama kedua orangtuaku pergi, aku langsung bergabung dengan kelompokku. Kami disuruh berbaris secara teratur dan menunggu petunjuk yang akan disampaikan lagi oleh Kak Adit. Setelah semua anak sudah kebagian kelompok dan berbari rapi, kami semua disuruh untuk memasukki bus-bus yang sudah ditentukan. 

Selama perjalanan diriku belum ada niatan untuk berkenalan atau sekedar membuka topik perbincangan ke anak yang saat ini sedang duduk di sampingku. Lagi pula ia juga sudah sedang sibuk memainkan gadget-nya yang sedari tadi dari awal kita memasuki bus hingga sekarang belum juga terlepas dari genggamannya.  Aku pun juga terlalu sibuk memikirkan apa saja yang akan terjadi, apa saja yang akan diriku lakukan ketika sudah sampai di lokasi nanti.

Sekitar dua jam sudah berlalu, beruntung perjalanan lancar dan tidak terlalu macet. Kak Adit kembali melakukan tugasnya, ia menyuruh kami untuk turun dari bus dengan teratur. Setelah semua orang sudah turun, kami langsung di suruh untuk kembali membuat kelompok yang sebelumnya tadi sudah dibentuk. 

Aku langsung berbaris di belakang salah satu anak perempuan yang entah siapa namanya, susah sekali bagiku untuk mengingat nama-nama kelompokku. Tidak lama kemudian Kak Adit menyuruh kami untuk mengikuti dirinya, Kami disuruh untuk duduk bersila membuat lingkaran di atas tikar yang sudah digelar dan saling berkenalan dengan anggota kelompok kami masing-masing.

Awalnya aku kira acara ini hanya akan menjadi acara yang dipenuhi dengan tawa dan senyuman, acara sederhana yang akan mengisi liburan kelulusanku. Tidak pernah sekalipun terlintas dipikiranku bahwa acara ini akan memberikan diriku sebuah dampak besar.

Tetapi sepertinya aku salah besar. Memang awalnya semua berjalan sesuai ekspetasiku, aku bertemu dengan teman-teman baru, saling berbagi cerita satu sama lain, bercanda ria bersama-sama. Kelompokku benar-benar terdiri dari orang-orang yang seperti aku harapkan.

"Kak Kevlar, kalo kakak gimana? Hal apa yang paling terkesan buat kakak?" sekarang giliran Tristan yang melemparkan pertanyaannya ke Kak Kevlar.

"Gak ada. Buat saya belum ada hal yang berkesan di hidup saya," ucapnya dengan datar dan dingin.

Respon yang keluar dari mulutnya berhasil membuat diriku yang saat itu masih berumur sebelas tahun, hanya bisa memperhatikan dirinya dengan tatapan heran dan tidak banyak berkomentar.

"Ada yah manusia sejenis dia," ucapku dalam hati. Tapi aku hanya menggelengkan kepala dan melanjutkan permainan melempar pertanyaan ke satu sama yang lain. Tapi lagi-lagi setiap Kak Kevlar mendapat pertanyaan pasti jawabannya tidak pernah memuaskan.

Lalu aku menghelakan nafasku dengan kencang. "Kak Kevlar kenapa datar banget sih? Jawabannya gitu-gitu mulu. Gak seru tahu," ucapku.

Tapi dia hanya mengangkat bahu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia menatapku tajam dan dingin. Matanya merah, sepertinya dia kurang tidur, pikirku.

"Kak Kevlar matanya merah, aku bawa obat tetes mata. Kakak mau?" tawarku.

Awalnya dia hanya diam dan terus saja menatapku dalam. Tapi akhirnya dia menganggukan kepalanya.

"Aku tetesin boleh gak kak?" tanyaku kembali.

Kak Kevlar menatapku dengan tatapan heran. Tapi karena dia tidak berkata apa-apa akhirnya aku menganggap itu sebagai jawaban 'iya'.

Aku beranjak dari tempatku duduk, setelah itu aku mendekati Kak Kevlar, dan meneteskan obat tetes mata tersebut. Dua tetes di mata kanan serta dua tetes di mata kiri. Aku bisa merasakan semua mata sedang menatapku.

Setelah meneteskan obat tetes tersebut aku kembali duduk di tempat asalku tadi. Lalu aku langusng mengajak yang lain untuk kembali melanjutkan permainannya. Awalnya mereka memberikan aku tatapan tidak percaya. Namun aku hanya mengabaikannya.

Dan itu adalah cara aku memulai hari pertamaku di summer camp.

He's (not) Mine [On Hold!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang