#Flashback 2

16 8 1
                                    

Adila's pov

Aku melangkahkan kaki ku dengan perlahan, kain tebal melingkar di wajahku menutupi mataku. Saat ini kami sedang memainkan permainan aneh, di mana kami harus saling berpegangan tangan dan menuntun satu sama lain untuk berjalan. Yang berbaris paling depan akan berpegangan tangan dengan seorang panitia. Tentu panitia tidak memakai kain seperti kami, merekalah yang akan membawa kami entah kemana. 

Posisiku yang saat ini berada di tengah-tengah, otomatis berpegangan tangan dengan dua orang. Kanan-kiri keduanya cowok, kalau tidak salah yang di sebelah kiri bernama Tristan dan yang di sebelah kanan adalah cowok yang tadi sempat aku tetesin obat mata, namanya Kevlar seingatku. 

Aku tidak bisa memprediksi di mana saat ini diriku sedang berdiri, entah di atas rumput atau aspal. Bahkan ini adalah hari kedua kami sampai di tempat ini, tetapi panitia sudah menyuruh kami menjelajah daerah ini dengan mata tertutup sambil berpegangan tangan dengan seseorang yang baru dikenal kurang dari dua hari.

Sejauh ini Kak Kevlar tidak ada membuka mulut. Berbeda dengan laki-laki yang berada di sebelah kiri ku ini, ia terus saja mendumel.

"Aduh, hampir kepleset."

"Ini aku nginjek apa kok kenyel sih?"

"Masih jauh tidak?"

Kira-kira kalimat itulah yang terus dilontarkan oleh manusia bernama Tristan ini. Sesekali aku akan mencengkram tangan Kak Kevlar secara spontan karena tingkah Tristan yang tidak bisa diam, tentu membuat diriku sulit untuk menjaga keseimbangan. Sesekali aku akan mendecak sebal karena tingkah Tristan ini sungguh membuatku kewalahan sendiri.

"Aduh, diam sedikit bisa tidak sih?" ucapku akhirnya mengeluarkan suara.

"Ah... capek. Kapan sampainya?" Bukannya menghiraukanku, ia malah kembali mengoceh. 

Diriku yang sudah muak sekali menggoyangkan tangan kananku. "Kak Kevlar," panggilku pelan.

"Hm?"

"Tukeran tempat dong," ucapku setengah merengek.

"Kenapa emangnya?"

"Tritan nggak bisa diam."

Setelah itu aku merasakan tangan Kak Kevlar menggenggam lenganku dan menarikku pelan, sehingga aku bertukar posisi dengannya. Otomatis sekarang di sebelah kiriku adalah Kak Kevlar dan sekarang siapapun yang saat ini berada di sebelah kananku, dia adalah seorang perempuan, aku bisa merasakan tekstur tangannya yang terlalu lembut dan kecil untuk dimilikki oleh laki-laki.

"Kak panitia, masih jauh ya?" Suara Tristan kembali terdengar. 

"Sebentar lagi ya," ucap kakak panitianya, entah siapa namanya aku pun sudah lupa.

Akhirnya sekitar lima menit berlalu, kami diperbolehkan untuk membuka kain penutup mata kami. Tanganku berusaha untuk membuka ikatan kencang yang melilit di bagian belakang kepalaku. 

"Ugh... susah," keluhku.

Tiba-tiba aku merasakan ada sepasang tangan yang membukakan ikatan tersebut, saat aku memutarkan badanku terlihat Kak Kevlar yang sedang memegang kain yang tadinya terikat menutup mataku. 

"Makasih kak," ucapku pelan, lalu mengambil kain yang berada di tangan Kak Kevlar.

Kak Kevlar hanya menganggukkan kepalanya, setelah itu ia kembali beralih ke arah di mana kakak-kakak panitia sedang berdiri. 

"Baiklah, kita udah sampai di lokasi. Udah pada capek belum?" tanya salah satu panitia.

Beberapa dari kami ada yang menjawab "Udah," tapi ada juga yang menjawab "Belum." 

"Lho, masa baru segitu doang sudah capek? ayo dong semangat! Kita bakalan naik flying fox nih. Siapa yang suka flying fox?" ucap panitia yang berhasil membuat di antara kami kembali bersemangat, berbeda dengan diriku yang malahan berdiri ketakutan. 

Aku sangat benci flying fox, aku membayangkan bagaimana jika tali-tali tersebut tidak bisa menahan berat badanku. Tapi tentu kakak-kakak panitia tersebut akan memaksa kami untuk naik, alhasilnya mau tidak mau aku harus mengikuti permainan. Sebelum menaikki flying fox tentunya kami harus memasang pengaman terlebih dahulu. Semua anak berbaris rapih, dan satu-persatu dipasangi pengaman. 

"Kak Kevlar, Dila takut naik flying fox," ucapku dengan suara mengecil. Yang dipanggil hanya menatapku. Mungkin jika matanya saat ini tidak merah, tatapan tersebut tidak akan terlalu menakutkan bagiku.

"Kenapa takut?"

"Kalau jatuh gimana?"

"Nggak akan, talinya kuat kok."

Aku hanya menundukkan kepalaku, masih ragu akan perkataannya. Aku pernah membaca berita adanya kasus anak patah tulang karena terjatuh dari flying fox karena pengamannya kurang kuat. Memikirkannya saja sudah berhasil membuatku bergidik ngeri. 

"Mau aku deluan yang naik?" tiba-tiba Kak Kevlar sudah berada disampingku. 

Aku mendengakkan kepalaku dan menatapnya dengan tatapan bingung. 

"Iya buat ngebuktiin kalau flying fox yang akan kita naikkin ini aman."

Tidak tahu harus menjawab apa akhirnya aku menganggukkan kepalaku. Setelah itu aku mundur satu langkah, dan akhirnya badan tinggi milik Kak Kevlar berada di depanku. Aku kembali menundukkan kepalaku dan mulai memainkan jari-jariku tanpa sadar. Tidak lama kemudian giliran Kak Kevlar pun tiba.

Tali pengait pun dipasang ke pengaman Kak Kevlar. Dengan aba-aba satu,dua, tiga ia pun didorong. Aku mulai melangkahkan kakiku ke depan dan menatap tubuh Kak Kevlar yang meluncur ke bawah dengan kencang. Akhirnya kakinya bisa menapak kembali di atas tanah dengan selamat. Kemudian dia melepas semua pengaman yang ada di tubuhnya lalu melambaikan tangannya ke arahku. 

"Selanjutnya," ucap Kak Panitia membuatku tersentak. Rasanya seluruh tubuhku menjadi mati rasa, kepalaku pusing dan ada perasaan tidak enak di perutku. Tapi aku memaksa diriku untuk menjadi pemberani kali ini.

Secara tidak sadar tali pengait sudah dikaitkan di pengamanku. Aku mulai menutup mataku dengan erat saat Kak Panitia menghitung aba-aba.

"Satu, dua, tiga..." 

Setelah mengitung pengaman badanku didorong dengan kencang membuat tanganku spontan mencengkram kencang tali pegangan. Mataku dan mulutku tertutup rapat, angin menerpa seluruh wajahku. Dalam hitungan detik kakiku sudah kembali menapak tanah. Perlahan aku membuka mataku dan menghembuskan nafas yang sedari tadi ku tahan. 

Pandangan pertama yang ku dapat adalah Kak Kevlar yang sedang berdiri tegap dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada. Senyuman kecil terukir di wajahnya. Seorang bapak-bapak membantuku melepaskan pengait tersebut dari pengamanku. Setelah itu aku melepas seluruh pengaman yang ada di tubuhku, lalu ketika aku akan berjalan ke arah Kak Kevlar, entah kenapa secara spontan aku terjatuh.

Kak Kevlar mengernyitkan keningnya dan menghapiri diriku yang sudah tergeletak di atas tanah. Lalu ia mengulurkan tangannya, membantuku untuk berdiri. 

"Kenapa?" tanyanya.

Aku menggelengkan kepalaku, "Mati rasa kak."

Kak Kevlar terkekeh kecil. Selanjutnya ia tidak mengucapkan sepatah kata lagi, melainkan merangkulkan tanganku ke dirinya. Kami berjalan bersama ke tempat di mana tenda-tenda didirikan. 

"Dia kenapa?" tanya salah satu panitia yang bertugas menjaga daerah tenda kami, entah siapa namanya. Terlalu banyak panitia aku tidak bisa mengingat semua nama mereka. 

"Kecapean kak," ucap Kak Kevlar yang dibales dengan anggukan oleh Kak Panitia.

Setelah itu aku dianter ke tendaku sendiri. Dan Kak Kevlar pergi tanpa mengeluarkan suara, aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih.

Kurang lebih hari kedua di sini lumayan berkesan bagiku.

Don't forget to comments and vote :)

He's (not) Mine [On Hold!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang