03. Malaikat Pun Berbuat Licik

18K 2.2K 77
                                    

Berulang kali Raka menggulirkan pandangan ke sana ke mari. Pada jalanan menuju Bandara yang padat merayap juga ada kekasihnya yang terus saja diam, tak bersuara. Manik yang biasa menatap Raka penuh binar ini berubah redup dua hari belakangan. Sejak penolakan tajam yang Mama sarangkan tanpa belas kasihan.

Siapa yang tidak sakit hati? bukan saja ditolak jadi menantu, Rea juga dihabisi oleh semua tutur kata Mamanya yang keterlaluan. Harga diri yang Rea jaga mati-matian dikuliti oleh tatapan meremehkan sang Mama. Siapa yang tidak langsung jatuh berantakan jika diperlakukan seperti itu?

Helaan napas yang lepas dari paru pria itu, terdengar kasar sarat akan beban. Ia ikut hancur karena melihat keadaan kekasihnya yang seperti ini. Bergeming, dan acuh pada sekitar bukan tipikal seorang Rea Anjani. Bukan Raka membiarkan bungkamnya Rea. Ia sudah mencoba membujuk. Sudah coba menenangkan. Sudah coba meyakinkan. Namun Rea masih saja berkubang dengan sakitnya.

Kehidupan Rea dan profesinya memang penuh dengan gemerlap. Tapi bukan berarti Rea sama dengan yang lain bukan? Rea memang seringkali diterpa gosip miring dengan beberapa pria, tapi itu benar hanya sekadar gosip bukan? Karenya nyatanya Rea selalu kembali pada Raka. Karena Rea selalu ada saat Raka pulang. Raka mengenal kekasihnya. Sangat mengenal kekasihnya. Hati wanita ini lembut. Ia bukan seperti yang selalu Mamanya sangkakan. Rea wanita yang berbeda. Raka berani bertaruh untuk yang satu ini.

"Aku mau terbang, Re. Aku bisa tidak fokus kalau ninggal kamu dalam keadaan seperti ini. Sudah ya?"

Hangat, Raka memenjara satu per satu jemari kekasihnya. Ia berikan seulas senyum guna menenangkan ketakutan Rea yang amat Raka pahami. Namun wanita ini terus tak bereaksi. Hingga kecupan singkat yang Raka berikan pada buku-buku jarinya, Rea tetap setia dengan bergeming.

"Mamamu selalu seperti itu ya Ka?"

"Iya. Mama selalu seperti itu pada semua orang," bohong Raka, "jadi sudah jangan pikirin apapun lagi."

Terpaksa Raka mengingkari kepribadian Mamanya untuk bisa membesarkan hati wanita malang ini. Mamanya wanita yang baik. Sungguh. Beliau tidak pernah menilai seseorang dari harta dan asal-usul keluarganya. Matanya selalu menghormati siapapun, tak peduli jika mereka hanya rendahan. Mama bergaul tanpa pandang bulu. Dengan Mbak Darsi, Mama tak pernah memberlakukannya selayaknya pembantu yang sebenarnya. Mamanya wanita yang baik. Namun entah mengapa selalu terlihat bak iblis saat berhadapan dengan Rea.

"Mamamu keterlaluan Ka." Tambah Rea lagi. Kali ini dibarengi dengan setitik air mata, "atau memang aku yang nggak pantas dampingin kamu? Aku memang bukan dari keluarga yang terpandang. Aku bisa memiliki semua ini juga berkat kerja kerasku sendiri. Apa salahku Ka? Kenapa Mamamu bisa setega ini sama aku?"

Raka menepikan mobilnya dengan mudah. Membawa tubuh bergetar itu dalam dekapannya, "kamu yang terbaik untukku sekarang, Re. Ucapan Mama tidak akan membuat penilaianku berubah. Jadi sudah ya? Jangan sakiti dirimu sendiri dengan terus menerus memikirkan omongannya Mama. Oke?"

Wanita itu mengangguk di atas pundaknya. Lengan kecilnya memenjara tubuh Raka sama eratnya. Isak dari bibir merah itu perlahan habis.

"Kamu milih aku kan, Ka?"

"Tentu." Tukas Raka seraya memejamkan mata, "aku akan cari cara untuk bisa mendapatkan restu dari Mama."

"Kalau tetap tidak dapat?"

"Aku akan cari cara yang lain."

"Kalau tidak ada cara yang lain?"

Raka terkekeh miris. Mengurai pelukan keduanya meski Rea terlihat masih enggan. Gemas, Raka menyarangkan sebuah kecupan di hidung mancung kekasihnya.

ALKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang