20. Tamat Sudah

16.3K 2K 156
                                    

Flora terlihat tiga tahun lebih dewasa dengan segala hal yang melekat pada tubuhnya. Rok span hitam yang menyembunyikan lutut dipadukan atasan lengan panjang berwarna baby pink itu membuat Flora tampak classy. Rambutnya digerai, sesekali saat kegerahan dicepol asal tanpa bantuan sisir. Sayang, heels warna cream yang menyempurnakan penampilannya pagi tadi sudah terlepas. Berganti menjadi sepasang sandal jepit, yang selalu ia simpan di kolong meja. Hancur sudah, bayangan wanita karir di dalam otak.

Satu napas Flora lolos begitu saja. Matanya jatuh pada lahan parkir supermarket yang sesak oleh kendaraan roda dua atau bahkan empat. Flora kembali mengembangkan senyum, senang tak terbendung karena usaha Papa ini tetap lestari meski berada dalam genggaman gadis manja sepertinya. Semoga Papa bangga padanya di atas sana.

Pintu terbuka tanpa diketuk. Flora menoleh, tahu pasti bahwa Om Wira yang gendut sedia memenuhi panggilannya. Sudut-sudut bibir Flora menipis sebal. Pria tua ini terlalu sombong, berani sekali membuat Flora menunggu hampir dua jam untuk mengeluarkan 'unek-uneknya'.

"Sibuk ya, Om?" sapa Flora masih hangat. Atau berpura-pura hangat, "silahkan duduk."

Wira tampak bisa mengimbangi permainan Flora. Duduk di tempat, tanpa sekalipun bisa memamerkan senyum. Jangan tanya mengapa ada hubungan keluarga yang seperti ini. iri dengki, membuat Om Wira memilih memusuhi keluarga Flora yang lebih beruang.

"Begitulah. Om mu kan bukan boss." sindirnya tajam.

Flora terkekeh, "itu sih pilihan Om sendiri. Siapa suruh mau jadi kacung."

Wira mendelik, "Mulutmu, Kalisa sekali. Tidak punya tata krama."

Sudut-sudut bibir Flora berkedut. Banyak yang mengatakan bahwa bibir dan lidah Flora benar-benar titisan Kalisa. Sinis, dan juga pandai tersenyum licik. Tapi anehnya, hampir enam dari sepuluh orang memuji senyum dan lidah tajam ini. Mama Sita, dan Om Aji contohnya. Mereka bilang, gadis yang tangguh harus seperti ini. pandai memainkan emosi lawan. Pandai menguasai keadaan. Aduh, Flora bersyukur karena sudah mewarisi mata tajam Papa, juga senyum separo Mamanya.

"Iya dong, Om. Flora kan anak kandungnya Mama dan Papa, wajar kan ya kalau Flora mirip mereka. Kecuali jika Flora ternyata juga anak pungut, seperti Kak Rayyan, pasti nggak ada mirip-miripnya."

Om Wira memicing. Sadar bahwa sedang disindir, "padahal Om harap kamu juga anak pungut. Sayang kamu benar-benar anak kandung." Tambahnya jujur sekali.

Flora sampai terpingkal. Tidak berhenti, meski Om Wira sudah menipiskan bibir, karena tidak suka di tertawakan. Tawa Flora seketika berhenti, saat mengingat Rayyan. Bagaimana cara pria itu menghadapi Om Wira dulu? Hanya diam lalu membiarkan Om Wira merendahkan sesuka hati. Rayyan bodoh jika begitu.

Harusnya Rayyan bersikap seperti Flora sekarang. Hadapi dengan santai, juga sedikit jadi keponakan yang kurang ajar. Om Wira semudah ini dibuat dongkol. Om Wira semudah ini diintimidasi dengan balasan cemoohan. Rayyan harusnya jangan jadi pria yang lemah dulu. Dia harus sombong seperti yang Flora lakukan, karena biar bagaimanapun hukum menyatakan Rayyan adalah anak Rendra. Tidak peduli dari rahim mana dia lahir.

"Kenapa Flora merasa, kalau Om Wira ini sebenarnya juga anak pungut. Iya nggak sih, Om?"

"Dasar anak kurang ajar. Aku anak kandung !!!" Wira ngotot, berteriak keras tidak terima disebut anak pungut.

Sekali lagi Flora menanggapi dengan tawa. Wanita itu mendorong kursinya sedikit mundur. Mengusap-usapkan bolpoinnya di sekitaran dagu. Tidak lupa membalas tatapan tajam Om Wira dengan tatapan mengejek yang lain.

ALKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang