05. Meja Makan Yang Bercerita

18.1K 2.1K 73
                                    

Makan malam berlalu seperti biasanya. Rahang Papa yang mengeras, bibirnya yang bungkam, pun matanya yang tak pernah lagi melirik pada si sulung. Semua tingkah Papa ini sudah menjadi santapan yang Raka telan bersamaan nasi bertahun-tahun lamanya. Raka hampir terbiasa, namun rasanya tetap tercekik tepat pada bagian leher. Raka sudah mencoba acuh, tapi tetap saja rasa sesak itu datang menghampiri. Alhasil, Raka selalu diam setiap kali berkesempatan makan malam bersama keluarganya. Ia sadar betapa banyak kecewa yang telah Raka torehkan pada asa Papa yang kadung membumbung tinggi dulu.

"Pa?"

Raka mendengar suara lembut Mama mengudara. Gerakan mengunyah yang dilakukan rahang itu terhenti, otak Raka sibuk memerintah telinga untuk lebih menajam lagi.

"Hm."

"Raka sudah mau nikah dengan Flora. Aduh, Mama akan sibuk setelah ini. Kita harus bikin lamaran lalu pesta yang besar untuk sulung kita. Ya kan, Pa?"

"Flora nggak punya keluarga lagi kan? Lamaran yang mewah rasanya nggak terlalu perlu."

"Tapi dia kan masih punya Om, Pa."

"Terserah."

Raka setia menunduk. Tak berani mencari tahu reaksi Papanya.

Dalam benak tergelap, masih teringat jelas bagaimana Papa sangat menyanginya dulu. Adanya Dewa membuat perhatian Mama untuk si sulung sedikit tersita. Yudistira lah yang dengan penuh perhatian menjaga Raka kecil, menggantikan sedikit sosok seorang Mama yang mulai terbagi sayangnya. Tubuh gembil Raka selalu di gendong menuju rumah sakit. Di biarkan berlarian ke sana ke mari dalam ruangannya yang tak seberapa. Dibiarkan bermain sesuka hati bersama semua barang dalam ruang serba putih itu. Yudistira tetap di sana, mengamati tumbuh kembang Raka di sela-sela kesibukan yang menggunung.

Yudistira amat begitu menyayangi si sulung. Apapun yang menjadi keinginan putra tertuanya ini akan jadi seperti sebuah keharusan yang sudah semestinya dikabulkan. Terang saja, Raka merasa di atas angin. Ia tinggal sebut, dan sesuatu yang terlampir di benaknya akan hadir.  Bagaimana mungkin, Raka tidak menyangi sang Papa?

Namun lambat laun rasa sayang Yudistira untuk sulungnya ini mulai bergerak menuju sebuah ambisi yang tak terkendali. Dipilihnya Yudistira sebagai pewaris utama Alengka Hospital oleh Kakek Raka, tentu menimbulkan sebuah gagasan yang baru. Harus ada penerus berikutnya, dan sulungnya yang tampan ini sudah barang tentu jadi andalan. Begitu pikir Yudistira semena-mena.

Yudistira berubah seratus delapan puluh derajat sejak hari itu. Dulunya membebaskan semua keinginan Raka, lalu berubah menjadi pengekang semua keinginan Raka. Rasa protektifnya makin menjadi tiap hari. Kian besar tiap detiknya hingga Raka makin tak punya hak atas hidupnya sendiri. Semua tentang pilihan Yudistira. Dari sekolah hingga teman, Papa yang mengatur. Raka hanya bak boneka tampan sejak umurnya menginjak tujuh tahun.

Tapi Raka tetap sulung Yudistira. Kekeraskepalaan keduanya seirama. Yudistira terus mengekang, dan Raka akan terus membangkang. Cekcok tak terhindarkan. Retaknya sebuah keluarga makin melebar. Hari berganti hari. Raka tak lagi termaafkan oleh hati seorang Yudistira. Ah. Bahkan mungkin, sekarang rasa sayang seorang ayah pada anaknya itu sudah hilang. Berkalipun Raka bersujud, maaf itu tidak akan pernah mendapatkan lontaran ampunan.

"Jangan senang dulu, Ma. Papa yakin dia akan kabur, dan membohongi kita lagi." Sindir Papa tajam.

Gerakan tangan Raka terhenti. Ia kembali dilempar keras-keras pada masa lalu. Hari ini di mana, Papa tak lagi menganggapnya ada.

"Nggak, Pa. Raka nggak akan—"

"Tidak ada yang bisa menjamin, Ma. Dia punya hidup atas dirinya sendiri kan? Jangan di atur lagi. Adanya kita hanya seperti jeruji besi baginya. Jadi jangan berharap banyak."

ALKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang