22. Badai Yang Mengintip

16.4K 1.9K 181
                                    

"Ma..."

"Ya?"

"Mama bahagia?"

Sita mengerutkan kening lalu tertawa lebar, "bahagia. Kamu lihat sendiri kan? Baru dengar kalau Raka bikin surat resign saja, Papamu langsung bersikap seperti itu. Aduh, Mama sudah menunggu ini sejak lama Flo. Makasih ya?"

Flora tersenyum lemah. Bukan Raka yang ia maksudkan sekarang. Tapi karena Mama menyebut-nyebut nama Raka, Flora jadi dibuat terhenyak dalam beberapa detik. Hati ini rasanya juga tidak keruan memikirkan suami hebatnya itu. Sedia melepas mimpi demi ia yang penipu. Ah Flora benar-benar serba salah. Menatap Raka selalu dengan dihinggapi rasa yang tidak menentu.

Paru-paru Flora mengembang lalu mengempis. Meloloskan sesak bersama dengan sisa-sisa napas. Pandangan bahagia memang tidak bisa disembunyikan dari pendar Mama Sita maupun Papa Yudis yang menyala-nyala. Kecewa dan ketakutan yang sebelumnya bergelantungan itu sirna entah terbawa apa. Bahkan Papa Yudis sedia memandang Raka dengan lembut, juga rindu.

Lalu Flora juga melihat ekspresi terkejut dari Raka saat ajakan Papa Yudis terlepas bak anak panah. Tidak menyakiti, kali ini mungkin cukup untuk membuat hati Raka meledak oleh bahagia. Sebelum mengayunkan kaki mengikuti langkah Papa Yudis, Raka lebih dulu meraihnya. Meraih kening, mengutarakan terima kasih. Hati Flora seolah terkoyak jadi serat-serat tipis. Flora tidak memerlukan terima kasih, Flora membutuhkan pengampunan saat semuanya harus ia akui.

Pertanyaan lain kemudian timbul. Benarkah senyum yang terus Raka tarik dua hari ini adalah senyum yang sebenarnya? Saat melihat ia dan Mama terlonjak apakah Raka benar merasakan bahagia? Saat melihat Papa Yudis memandangnya lekat, apakah Raka benar-benar mensyukuri keputusannya? Flora tidak yakin. Flora takut di dalam sana Raka merasa diperlakukan tidak adil. Semua orang bahagia di atas dukanya. Jangan sampai Raka menyembunyikan kalimat itu di balik senyumnya.

"Kenapa ngelamun? Awas kalau sampe ikannya gosong." Sita menyenggol siku Flora. Membuat gadis itu bangun itu dari lamunan.

Flora tersenyum kecil. Membalik ikan kakap yang Mama Sita sebut sebagai kesukaan Dewa, "kira-kira Mas Raka sama Papa Yudis ngobrolin apa di makamnya Mama Sinta ya, Ma?"

"Mama kira, mereka nggak ngobrolin apapun di sana."

"Kenapa begitu?"

"Sebenarnya banyak yang mereka ingin tanyakan pada satu sama lain, cuma Mama berani bertaruh mereka terlanjur kaku, dan nggak berani memulai. Palingan cuma saling mensyukuri keberadaan masing-masing saja."

"Yah," Flora mengeluh kecewa, "Flora maunya mereka beneran kayak Papa dan anak. Diskusi bareng, ngomongin ini dan itu berdua. Nggak bisa lagi ya, Ma?"

"Bisa. Cuma perlu waktu." Sahut Sita lemah, "biar bagaimanapun mereka udah puasa ngomong selama bertahun-tahun, jadi mereka butuh adaptasi ulang supaya nggak canggung. Dan sudah jadi tugas kita untuk menyemarakkan suasana. Siap?"

Flora tertawa, "macam cheerleaders, Ma."

"Macam suporter bola juga boleh." Balas Sita dengan tawa, "kita akan makan besar hari ini. Mama sudah undang Rachel juga. Pokoknya kita harus rayain hari kembalinya keluarga kita."

Hari kembalinya keluarga, atau hari menangnya Papa dan kalahnya Raka. ah, entahlah. Flora benar-benar pusing saat ini. Seperti sebuah kehormatan karena sukses membuat Raka memilihnya lebih dari apapun. Di waktu yang bersamaan Flora melihat dirinya menjadi wanita paling jahat karena menipu Raka habis-habisan. Membohongi dan sekarang membuat Raka kehilangan satu mimpi terbesarnya. Flora mendapatkan keluarga, cinta, dan bahagia. Sebaliknya, Raka kehilangan semuanya.

Flora mematikan kompor, tanpa menghidangkan semua masakan ini dalam piring-piring saji. Mama bilang makan malam ini akan dimulai selepas magrib saja, berhubung Raka dan Papa Yudis masih berziarah di makam Sinta. Pun, seraya menunggu Dewa dan Rachel yang janji akan sampai di rumah sesudah magrib pula. Flora menekuk lehernya yang pegal, kepalanya benar-benar penat sekarang.

ALKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang