04. Topeng Yang Tersingkap

17.4K 2.2K 79
                                    


Langkah kaki Raka terhenti bahkan sebelum mencapai pintu apartemen milik Rea. Matanya menajam pada seorang pria yang baru saja melambaikan tangan dengan secarik senyum tepat di depan pintu. Kening Raka berkerut dalam, otaknya meneriakan pertanyaan siapa laki-laki asing yang sepertinya tuntas bertamu.

Pertanyaan itu terdengar makin keras, menyakiti telinga Raka makin menjadi. Tatkala wangi parfum Rea menguar bersamaan langkah kaki pria asing yang melaju tepat di depannya, kepalan kasar tangan Raka tercipta. Raka tidak mungkin salah mengenali harum itu. Parfum ini sudah ia hidu bertahun-tahun lamanya. Sekalipun sudah berbaur dengan aroma asing—yang Raka yakini milik pria berdasi penuh dengan senyum itu—Raka tetap tak akan bisa dikecoh.

Sekali lagi Raka menoleh. Tatapannya tajam, namun tidak cukup untuk membuat punggung itu lubang akibat amarahnya. Raka merasa janggal pada pria yang terus asik bersiul senang, sepertinya baru saja mendapatkan kebahagian yang tak tertandingi kadarnya. Raka tersenyum kecut, mulai menarik kesimpulan seenak hati.

Sejenak, Raka memilih memejamkan mata. Menyeimbangkan antara emosi dan rasional yang saling berketimpangan. Menimbang sekilas, siapa yang harusnya ia percaya saat ini. Mamanya yang bertahun-tahun mengacuhkan ia, atau kekasih yang sebaliknya selalu mendampingi.

Mari kita cari kepastiannya. Raka pun muak dengan hidupnya sendiri.

Cukup satu kali suara bel untuk membuat pintu di hadapan Raka tersingkap. Wajah ceria Rea, dengan senyum lebarnya menyambut. Hampir gadis itu berucap—entah apa, sayang menemukan wajah Raka barangkali membuat semua kalimatnya tertahan di pangkal tenggorokan. Kejutan, bukan? Ingin rasanya Raka meninju dinding sekarang.

Raka sengaja membuat kejutan yang sudah pasti membuat jantung Rea hampir lepas dari batangnya. Raka yang terbiasa jujur atas semua jadwal penerbangannya, kali ini dengan saja berbohong. Raka mengatakan akan menginap di Balikpapan, dan akan pulang esok sore, Hebatnya, Rea terjebak dengan mudah, mempercayai tanpa bertanya dua kali. Wanita itu tak antisipasi akan kunjungan Raka yang tak terduga ini.

"Raka, katamu besok baru pulang?"

Diucapkan dengan tersendat-sendat.

"Dibatalkan. Boleh aku masuk?"

"Jangan." Pekik wanita itu mencurigakan. Raka menyatukan alis, dan Rea buru-buru menghela napas pasrah, "ayo masuk, kalau begitu."

Tanpa membantah Raka mengikuti langkah kaki wanita itu. Matanya mengedar ke segala sudut. Sofa yang berantakan, juga beberapa baju bahkan pakaian dalam yang berserakan di lantai. Oh, jangan lupakan Rea yang segar selepas mandi.

Rea tergagap, "Aku baru pulang dari pemotretan. Butuh mandi, dan belum sempat ngeberesin. Maaf ya masih berantakan?"

See, Rea tengah mengarang bebas. Muak tiba-tiba saja merajai hati sulung Yudistira ini. Tiga tahun lamanya ia ditipu mentah-mentah. Mama benar. Ia bodoh. Ia naif.

"Apartemenmu ada tikusnya?"

"Ya?"

"Tikus itu mencuri pakaianmu. Bahkan sembarangan meletakkan bramu di atas meja. Besok panggil jasa pembasmi serangga."

Bibir Rea tak lagi mampu menyahut. Tangannya bergetar saat meremas tepian bathrobe biru yang memamerkan sebagian paha putihnya. Matanya berkeliaran ke sana kemari. Tipikal seorang yang terjepit, dan butuh menemukan alasan yang logis secepatnya. mungkin otak Rea sedang buntu, karena wanita itu benar-benar terlihat pasrah tanpa mencoba membela diri.

"Duduk, Raka. mau minum apa?"

"Air putih. Dingin. Hatiku panas sekarang."

Dua mata Rea tampak terbelalak. Jari-jemarinya bertaut meremas satu sama lain. Bibir merahnya terbuka, hendak lagi bersuara, namun hanya angin yang lolos dari tenggorokannya. Pada akhirnya wanita itu memilih mengangguk lemah. Berlalu menuju dapur.

ALKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang