16. Ungkapan Rasa

16.2K 2K 117
                                    


Untung saja ada Damar yang datang tepat waktu. Mampu menghalau amarah Rayyan yang tak berotak agar tidak lebih membabi buta dalam menyerang adiknya sendiri. Masih untung ini hanya gelas, bagaimana jika itu pisau? Bagaimana jika itu cangkul milik Pak Dirman yang tergeletak di sisi pintu? Sudah barang tentu Flora akan tewas dengan mudah. Iya, mudah. Dengan meninggal artinya sebagian beban juga ikut meluruh, bukan?

"Seharusnya kamu bilang kalau mau datang ke sini. Kalau seperti ini kamu bikin repot semua orang." gerutu Damar. sembari membersihkan luka di pelipis Flora.

Flora hanya ingin menikmati waktu berdua dengan Rayyan. Ingin berbicara banyak hal, meski Flora harus bersikap bak orang gila pula. Flora tidak berangan banyak. Hanya berharap Rayyan bisa mengingatnya tanpa harus menyakitinya.

"Dokter Arman sudah menyuntikkan obat penenang jadi kemungkinan Kakakmu sudah tidur sekarang. Kejadian ini tidak akan terulang lagi. Pak Dirman akan lebih hati-hati memasukkan orang."

Tidak ada ketenangan yang tersalurkan melalui ucapan Damar. Hati Flora tetap berkeliaran penuh ketakutan. Apa yang akan Rayyan ingat sedetik matanya terjaga nanti? Mengingat ia sebagai anak pungut, atau mengingat ia sebagai adik durhaka yang berusaha membunuh wanitanya? Flora takut. Flora tak ingin Rayyan semakin membencinya.

"Jangan nekat lagi, Flo. Kalau Rea benar-benar mati, kamu bisa berakhir dipenjara. Berhenti saja ya?"

Sialnya wanita itu belum mati. Kalau saja Rayyan datang lima detik lebih lama, mungkin Rea sudah meraung-raung terbakar di neraka. Sekarang semuanya gagal. Rea melarikan diri dan kembali berkeliaran sesuka hati. Di luar sana, sekarang Rea pasti tengah menyusun rencana untuk balas menghancurkannya. Sial...

Berhenti Damar bilang? No way.

"Sudah." Damar berujar lembut, meniup pelipis Flora yang dibalut dengan plester luka, "Jangan ikut-ikutan diam. Jangan bikin kakak takut."

Flora tersenyum kecil. Tak menolak saat Damar memberinya sebuah pelukan. Pria ini lebih baik dari pada Rayyan. Dulu hingga sekarang, pria ini bak pelindung yang dikirim Tuhan. Setitik air mata Flora turun lagi. Kesadaran bahwa tidak seharusnya Flora memanfaatkan kebaikan hati Damar, menciptakan sebuah jarak di antara mereka. Ada Raka sekarang. Flora tidak boleh serakah dengan membiarkan Damar tetap tinggal.

Kaki Flora tertekuk di atas sofa. Ia peluk erat. Ia sandarkan dagunya di lengkungan dua lutut, "Kak Damar?"

"Ya?"

"Berapa tahun berteman sama Kak Rayyan."

Damar diam sejenak, berhitung cepat, "Tujuh belas mungkin, sejak kami SMP. Kenapa?"

"Kak Rayyan pernah cerita apa saja soal aku?"

"Banyak," jawab Damar dengan senyum menenangkan, "Waktu ngajak aku dan temen-temen main ke rumah kalian untuk pertama kali, Rayyan mamerin kamu sebagai umpannya."

"Aku?"

"Iya. Rayyan bilang dia punya satu adik perempuan yang sangat cantik. Kami sebagai ABG tentu saja langsung tergiur. Rela aja jalan kaki dari sekolah sampe ke rumah kalian, demi bisa lihat adik Rayyan yang katanya cantik itu. Pas sampe di rumah kamu, aku dan teman-temanku spontan ngumpat. Adik Rayyan memang cantik, tapi dia masih main masak-masakan. Kan shit, anak tujuh tahun mau di apain."

Damar tertawa. Flora ikut bergabung. Tubuhnya sedikit miring, ingin mendengar cerita Damar lebih banyak lagi. Ouh, hati Flora sedikit luang sekarang. Setidaknya Rayyan pernah bangga terhadapnya. Yah, meskipun itu hanya sebatas fisik.

ALKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang