14. Iblis Yang Bertamu

16.4K 1.8K 80
                                    

Alarm milik Raka pagi itu berteriak nyaring. Mengganggu tidur Flora, namun tak seberapa hebat untuk menyengkal dua belah kelopak itu. Masih dengan setengah mengerjab, Flora merapatkan tubuhnya pada guling. Gadis itu benar-benar memerlukan satu atau dua jam lagi untuk memejamkan mata. Ia mengantuk yang sangat. Tubuhnya mengeluh kelelahan.

Flora belum benar-benar tersesat dalam lelap pada saat merasakan pergerakan di sisi ranjang yang Raka tempati. Telinga Flora masih menangkap sayup-sayup langkah, kemudian berganti dengan rintikan air dari kamar mandi. Mata Flora seketika terbuka lebar. Ia ingat bahwa Raka harus bekerja pagi ini. Tepatnya pagi buta ini.

"Papa sama Mama dulu juga penerbangan pagi." Gumam gadis itu mengingat yang lalu.

Helaan napas sesaknya lolos. Prasangka buruk bercokol, mengundang rasa frustrasi yang menggelegak. Tapi Flora juga harus percaya pada Tuhannya, bukan? Bahwa Dia tidak akan sekejam itu dengan kembali merampas Raka dari sisi Flora? Benarkan Tuhan?

Berapa kalipun Flora berusaha melupakan, pagi naas itu tetap hinggap dalam jaring-jaring otak. Suasana pagi ini juga merepresentasikan suasana pagi lima tahu lalu, rintikan hujan setelah guyuran deras air langit beberapa jam yang lalu. Semoga suasana setelahnya tak akan sama. Mendung yang dulu mengiringi perjalanan Mama dan Papa ke Bandara, Flora harap tidak ada pagi ini. Raka harus baik-baik saja, Raka tidak boleh mengalami kendala apapun. Ah, seolah-olah Flora ingin menjadi Tuhan sekarang.

"Aku bangunin kamu?"

Flora menggeleng, "Nggak telat kan, Mas?"

"Nggak lah. Aku udah bikin estimasi waktunya." Ujar pria itu santai, seraya mengancingkan seragam kerjanya.

Syukurlah. Bukan apanya napas lega ini Flora umbar. Pagi naas lima tahun lalu, Mama dan Papa terlambat bangun. Mama merelakan tidak mandi, demi buru-buru mengejar pesawat. Papa yang biasanya selalu pergi begitu saja, pagi itu berteriak keras membangunkan Rayyan dan Flora dari tidur. Mama dan Papa tinggal sedikit lebih lama, demi bisa mengecup kening putra-putrinya di bandara nanti.

Harusnya Flora ngebo saja pagi itu. Menyumpal telinga dengan kapas, agar tidak semudah itu bangun. Biar saja jika Mama ketinggalan pesawat. Biar saja, jika kemudian Mama mengamuk karena gagal menyaksikan festival bunga hias. Andai saja seperti itu, mungkin Mama dan Papa tidak akan berada di dalam pesawat sial itu. Andai saja begitu, Mama dan Papa masih ada bersamanya sekarang.

Andai, andai, dan andai. Flora muak dengan pengandaiannya yang mustahil ini.

"Mau ke mana?"

Flora merapikan kamisolnya, "Masak." Sahut gadis itu dingin. Ketakutan yang berkuasa, mengusir paksa yang bahagia Flora rasakan hingga semalam.

"Masih terlalu pagi, Al. Nggak usah repot-repot. Aku bisa makan di bandara, atau di pesawat."

Flora tetap abai pada ucapan Raka. Acuh pada tatapan bingung pria itu. Dalam keremangan pagi, ia terus menyeret kakinya dengan langkah samar-samar menuju dapur. Alangkah baiknya pria itu tetap diam dan tidak usah bertanya tentang perubahan sikap Flora, karena Flora tak ingin menjawab apapun. Flora tak ingin membuat Raka kehilangan sebagian hidupnya secepat ini.

Otak Flora buntu. Kepalanya hampir pecah, penuh sesak oleh berbagai muatan. Kalau boleh jujur, Flora tidak ingin memasak, ia ingin memohon pada Raka agar tidak terbang dan terus menemaninya di sini. Tapi itu juga tidak mungkin. Flora tidak boleh egois dengan mengedepankan ketakutannya. Karena biar bagaimanapun Flora harus tahu diri, Flora hanya orang baru sedang pilot adalah sesuatu yang pernah Raka perjuangkan dengan mati-matian.

"Masak apa?"

Getaran dari suara bariton itu mengusik keheningan dapur. Flora menoleh, memaksakan sebuah tarikan pada bibirnya. Orang bilang, tidak baik membuat seorang pilot pergi dengan keadaan gamang, "bubur ayam. Bentar lagi masak. Duduk dulu, Mas."

ALKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang