07. Dia Bilang Cinta?

16.6K 2.1K 105
                                    


Adakah yang mengira, bahwa Flora tersakiti oleh tingkah Raka semalam? Hatinya tergores, menangis tersedu sedan seraya menggigit selimut, lalu tidur akibat kelelahan? Adakah? Tidak? Kalian sudah mengenal seorang Alka Flora jika begitu.

Tentu saja tidak seperti itu kenyataan yang terjadi. Bahkan Flora terlonjak girang di kamarnya setelah mampu meninggalkan Raka dalam keadaan tercenung. Flora lega bukan main, karena tidak harus berbagi ranjang dengan Raka—acuhkan terlebih dahulu status suami istri. Itu artinya, Flora tak perlu berolahraga jantung tiap malam karena terus menerus harus berdekatan dengan pria itu. Tak perlu menyerahkan diri, karena toh mungkin pernikahan ini tak akan bertahan selamanya.

Sebelum menikah, Flora sempat berpikir untuk mengajukan syarat berupa 'pisah kamar sebelum ada cinta di antara kita'. Namun urung, Flora takut membuat Raka meragu atas niatnya menikah. Biar bagaimana pun, untuk Raka pernikahan ini adalah sungguhan, sedang untuk Flora pernikahan ini hanya senjata balas dendam. Jadi Flora harus bisa menjaga sikap di depan Raka. Tak boleh terlihat membuat jarak, dengan risiko Raka menganggapnya sekadar main-main.

Untuk mendukung totalitasnya, Flora sudah mempersiapkan diri untuk menyerahkan kehormatannya jika tiba-tiba saja Raka meminta. Flora tak akan menolak. Tidak akan menangguhkan hak Raka sebagai suami. Tidak masalah kehilangan kehormatan, anggap saja itu hadiah untuk Raka—suaminya yang malang. Tinggal cari cara agar dirinya tidak hamil saja bukan? Mudah. Dokter tersebar di mana pun.

"Alka..."

Entah sejak kapan Flora menyukai panggilan ini. Sedikit sentimentil, karena hanya Raka yang memanggilnya dengan Alka atau Al. Tak pelak, hatinya terus mengembang, bibirnya terus tersenyum. Matanya menyambut kedatangan Raka yang baru saja terbangun dari tidur lelapnya.

"Nyenyak tidurnya, Mas?"

"Nyenyak." Ia mencium aroma Flora di ranjangnya. Bagaimana mungkin tidak nyenyak? Pikir Raka geli.

"Kopi, atau teh?"

"Kopi. Jangan terlalu manis ya, Al."

Flora mengangguk. Ia sudah mirip istri idaman, belum? Sudah kan? Ia mencoba memahami suaminya. Memasak pagi-pagi buta untuk mereka. Menyeduhkan kopi hitam dengan sedikit gula untuk Raka. Masih juga ditambahi dengan senyum manis. Raka pasti tengah merasakan ketenangan yang luar biasa pagi ini. Pikir Flora pongah.

"Gimana?"

"Terlalu pahit, Al. Berapa sendok gulanya?"

"Satu pucuk sendok teh." Jawab Flora geli.

"Irit banget kamu. Besok tambahi. Satu sendok penuh pas dengan seleraku."

"Aku sengaja bikin pahit tahu, Mas."

"Kenapa begitu? Kamu mau hitung-hitungan sama suami?"

"Bukannya mau hitung-hitungan," Flora menopang dagu, siap meluncurkan usahanya, "kopi pahit sambil menatap istrinya yang manis hasilnya sama kok, Mas. manis. Coba aja."

Terang saja Raka megap-megap. Tidak menyangka bahwa gadis seperti ini yang berakhir menjadi istrinya. Takjub itu hanya sebentar karena Raka memilih tersenyum geli sekarang, tangannya bekerja tanpa diperintah mengacak ringan rambut Flora, "kamu itu cewek, kenapa nggombali aku terus sih? Nggak malu?"

Flora ikut tertawa, "habis aku nggak pernah di gombali sama suamiku. Kasihan kan?"

Raka mendengus, "Nanti aku belajar nggombal demi kamu."

"Beneran, ya?"

Raka mengangguk saja supaya urusan segera kelar. Menikmati pemandangan Flora yang tersenyum girang di hadapannya. Kopi yang semula amat pahit mencumbu pangkal lidah, kini berubah nikmat Raka sesap. Mungkin memang karena hati Raka kadung bahagia. Pahit pun, tak lagi terasa. Menggelikan? Begitulah.

ALKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang