Bagian Tiga

580 19 4
                                    

         Aku membekap wajahku dengan tumpukan bantal yang kedua, namun suara berisik yang menganggu itu tetap tidak dapat dibendung, aku melepaskan bekapan bantalku dan duduk diatas kasurku masih dengan mata yang setengah terbuka. Sinar matahari tampak telah masuk dari sela-sela gorden jendela kamarku yang tertutup, pukul 10 pagi, pantas saja ribut sekali, Mama kemarin bilang bahwa hari ini tukang bakalan beresin ruangan kecil yang ada diatas buat dibersihin dan diperbaiki papannya, agar bisa dimanfaatkan sebagai gudang, jadi diatap rumah kami ini, ada semacam ruangan kecil antara atap rumah dengan atap dilantai dua, jadi Mama berinisiatif buat memperbaiki ruangan itu biar bisa diberdayakan sehingga ruangan yang saat ini dijadikan gudang dilantai atas bisa dijadikan ruang kerja Papa. Aku beranjak ke kamar mandi untuk menyegarkan diriku dan menghilang kantukku.

     Telah hari keempat dari total seminggu minggu tenang yang aku miliki untuk belajar mempersiapkan UTS, tapi belum ada satu bukupun yang ku sentuh sejak awal minggu ini hingga sekarang, aku hanya berharap dari belajar kelompok yang akan aku lakukan bersama Tia, Andi dan Danu akhir minggu ini, mungkin lebih tepatnya hanya Tia yang belajar, sedangkan Danu dan Andi bakalan sibuk menyalin catatan Tia buat dijadikan jimat, sedangkan aku sendiri mungkin memang tidak terlalu pintar, namun setidaknya aku masih menganggap bahwa membuat jimat itu adalah sesuatu yang salah dan sia-sia saja, lebih baik nanti aku minta dijelasin oleh Tia dan lalu aku ulang membacanya sesaat sebelum ujian, memang materi pelajarannya hanya ada dikepala saat ujian itu saja, tapi setidaknya lebih baik daripada harus bersusah payah membuat jimat.

            Aku berjalan keruang keluarga, tampak Mama dikelilingi oleh beberapa kardus tua dan berdebu, aku beranjak ke depan televisi sambil meraih toples keripik kentang yang ada dihadapanku,

“kardus apa tu, Ma?” tanyaku

“oohh, ini barang-barang tua yang ada diruang atas itu, kalau masih ada yang bisa kita manfaatkan kita simpan dan selebihnya mau dibuang aja” jelas Mama, “hhmmm” anggukku kembali mengalihkan perhatianku ke TV.

“Bayu, kalau memang lagi ga ada kerjaan dan ga ada niat juga buat belajar hari ini, mending tolongin Mama”

“Debu, Ma” ujarku sambil menutup hidung sembari tetap memperhatikan TV

“Kamu itu ya, Malas sekali, ayo sini bantuin Mama” dengan langkah lunglai dan ogah-ogahan aku beranjak dari sofa yang empuk menuju ke tumpukan kardus yang rasanya sedari tadi tidak berkurang juga setelah di­sortir­ oleh Mama, aku duduk dilantai didepan salah satu kardus.

Aku melirik ke arah Mama “contoh barang apa yang mau disimpan dan bisa dimanfaatin dari tumpukan ini, Ma?” tanyaku “apa saja” jawab Mama singkat “contohnya?” tanyaku lagi.

Mama tampak mengangkat sesuatu, “itu apa?” tanyaku “mungkin kamus, soalnya Mama ga pandai bacanya –bahasa asing semua-, mana tau Papa bisa manfaatin ini” ujar Mama. “emangnya masih bisa dibaca, tulisannya kayak udah kabur gitu. Lagian kalau Papa butuh kamus, kenapa ga beli yang baru aja” sanggahku, “memanfaatkan apa yang ada” jawab Mama sambil kembali menggangkat sesuatu, aku kembali menyerngitkan dahiku, “itu, seperti pembersih toilet?” tebakku, “memang” jawab Mama singkat, aku menggelengkan kepala, kalau Cuma pembersih toilet kan bisa dibeli yang baru aja, kenapa harus manfaatin yang udah buluk begitu, pikirku.

            Akhirnya aku mulai menjamah kardus terdekat yang bisa aku gapai, mencari benda yang menurut Mama yang masih bisa dimanfaatkan dan men-sortir benda-benda yang akan dibuang, walau sebenarnya aku masih bingung dengan perspektif Mama tentang benda mana saja yang masuk kategori ‘bisa dimanfaatkan’ dan ‘tidak’.

            Aku membuka kardus kedua yang berada didekatku, masih hal sama seperti kardus sebelumnya, berisikan kertas-kertas usang yang tampak seperti berkas hanya saja aku tidak tahu apa isinya, soalnya bahasa inggris semua, dan aku lagi malas berpikir untuk membacanya, didasar kardus tanganku tampak menyentuh sesuatu yang bukan kertas, ini pikir keras, pikirku, semacam kotak kayu. Aku mengangkat kota kayu tua tersebut yang dipenuhi oleh debu, aku meletakkannya disalah satu kardus yang masih tertutup disekitarku.

            ‘hufffttt…’ aku meniup kuat debu yang atas diatas kotak kayu tersebut, hasilnya aku dan Mama malah terbatuk-batuk akibat debu yang berterbangan, “Bayu, jangan ditiup gitu, DEBU!” teriak Mama disela batuknya, “Maaf, Ma” jawabku sambil terus terbatuk.

“apa itu?” tanya Mama tampak antusias dengan apa yang kutemukan, “kotak” jawabku sekenanya, “apa masih bisa dimanfaatkan?” aku membuka kotak tersebut, didalam kotak yang cukup besar itu hanya terdapat sebuah buku yang berukuran sedang tampak sama usangnya dengan kotak kayu tempat buku itu tersimpan, “apa isinya?” tanya Mama lagi, “buku, Ma” aku mengusap debu tipis yang terdapat diatas buku tersebut, permukaannya kasar dengan suatu ukiran huruf ditengahnya “J!!” ujarku,”apa?” tanya Mama, “ehh, enggak Ma, ada huruf J didepan buku ini?” jawabku, “J??” pikir Mama.

“Jurnal” tambah Mama lagi, “mungkin” jawabku, “atau inisial yang punya buku ini, Ma” aku membalik buku tua yang lumayan berdebu itu, seperti kertas-kertas yang kutemukan pada kardus yang sama semuanya berbahasa inggris, sertiap halamanya tampak didahului oleh tanggal, bulan, dan tahun, rata-rata berkisar pada tahun 80an hingga 90an awal, seperti sebuah diary, pikirku.

Entah kenapa aku seperti terhipnotis untuk membaca buku itu, seperti dorongan keingintahuan, seperti tampak ada sesuatu pada buku itu, aku membalik tiap halaman dengan tidak terlalu teliti membacanya, hanya membaca cepat saja, beberapa kata dalam bahasa Indonesia tertangkap oleh mataku, seperti nama sebuah desa atau tempat, dan dua kata yang sering diulang dan aku tidak menangkap apa arti atau maksud dari kedua kata tersebut yakni ‘ORANG PENDEK’. 

Ekspedisi : Orang PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang