“Hilya, kamu mau menikah dengan saya?” Seorang lelaki duduk di hadapan Hilya berucap tegas.
Hilya terbelalak seketika. Sendok yang ia pegang terlepas, selera makan siangnya menguap entah kemana. Mimpi apa ia semalam? Lelaki yang sekarang sedang berada di depannya ini mengajaknya menikah? Mengajak dengan menggunakan kalimat yang benar-benar terdengar monoton di telinganya. Tanpa remeh-temeh apa pun. Tanpa basa-basi sedikit pun. Hilya hanya mematung, mencoba mencerna keadaan yang sedang ia alami.
Siang ini, setelah menunaikan Dhuhur di mushola kampus, seseorang menghubunginya. Seseorang yang bahkan tak pernah ia bayangkan meminta untuk ditemui, membuat Hilya mengerutkan dahi. Belum sampai beberapa menit menemui, seseorang itu mengajaknya makan siang bersama dengan janji untuk tidak menimbulkan fitnah apapun. Hilya mengiyakan meski pikirannya penuh tanya. Toh, hanya makan siang bukan?
Lalu detik ini, apa yang sedang ia alami? Lelaki itu mengajaknya menikah. Lelaki yang benar-benar tak pernah Hilya bayangkan. Lelaki yang tidak ia kenali. Ralat, ia mengenali lelaki itu setengah mati. Hanya saja, mungkin lelaki itu yang sama sekali tak mengenalinya. Lalu jawaban bijak apa yang harus ia beri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Rasa Bertahmid (Sudah Terbit)
SpiritualHilya menghembuskan napasnya kasar. Apa yang baru saja didengarnya bagaikan petir. Benar-benar bagaikan petir. Menyambar dengan cepat, menimbulkan sedikit cahaya menakutkan, kemudian memberi efek tangan mendingin dan gemetar. Ia harus bagaimana? Ba...