Sebuah Tatapan

20.8K 1.5K 2
                                    

“UASnya kurang tiga minggu lagi ya, jangan lupa. Materi yang diujikan dari awal.” Pagi ini, Kamil menyapa para mahasiswanya dengan menggoda perihal ujian akhir. Ia sedang mengajar di ruang Pendidikan Bahasa Arab angkatan 2013. Hilya yang terduduk di bangku ujung terbelalak, materi dari awal pertemuan itu cukup banyak.

“Pak Kamil teh jahat pisan, malesin.” Tata, si cantik berdarah Sunda memanyunkan bibir.

“Gak sekalian materi dari semester satu aja sih, Pak.” Kali ini, Hana memasang tampang sebal.

Kamil hanya tertawa menanggapi ekspresi murung para mahasiswanya, kemudian melanjutkan mengajar.

Waktu bergulir begitu cepat. Kamil berhasil membuat dua jam mengajarnya seolah-olah menjadi lima belas menit saja, membuat beberapa mahasiswanya mendengus kecewa karena kebersamaan mereka dengan dosen kocak itu telah berakhir.

“Ada yang mau main ke kos Hilya? Lumayan loh, kosong empat jam. Bisa buat bobok cantik.” Hilya mulai mempromosikan kostnya seperti biasa. Kost Hilya adalah tempat peristirahatan saat jam kosong yang paling strategis, tak begitu jauh dari kampus dan dikelilingi oleh beberapa warteg yang murah meriah.

“Aku ama Hana nebeng ngerjain makalah di kost kamu, Hil. Lumayan ada wi-fi gratis, tapi mau mampir beli camilan dulu.” Nisa sedikit berteriak dari bangku belakang. Hilya hanya mengacungkan jempol.

“Aku ikutan ke kost juga, Hil. Nerusin ritual tidur yang keganggu, semalem tidur jam dua.” Dhila menguap pelan dari bangkunya, kemudian menghampiri Hilya dengan langkah lunglai.

“Ayo.” Hilya tersenyum menatap Dhila, kemudian menggamit lengan sahabatnya itu dan mulai berjalan beriringan.

“Niswa dilupain kan?” Niswa mengerucutkan bibir sembari berlari kecil mengejar Hilya dan Dhila. Selain sejurusan dan sekelas, Niswa juga setempat tinggal dengan Hilya.

Hilya tersenyum di dalam hati memandang sahabat-sahabatnya. Nisa yang super cerewet, Niswa yang senang sekali memperhatikan hal-hal kecil, Hana yang dewasa dan Dhila si cuek yang mencintai hal-hal ekstrim. Mereka lahir dan tumbuh di kota yang berbeda, dengan lingkungan dan latar belakang pendidikan yang berbeda pula, kemudian dipertemukan di jurusan yang sama dalam sebuah Universitas. Mereka berlima resmi menjadi sebuah keluarga.

Nisa dan Hana telah meninggalkan kelas, sedang Niswa yang tadi manyun telah menemukan teman mengobrol sepanjang lorong lantai tiga.

Hilya melirik Dhila yang berjalan di sampingnya, ia begitu mengagumi gadis cuek di sebelahnya itu. Fadhilatul laili, gadis pemilik pengetahuan seluas samudra. Gadis yang menyukai hal-hal anti mainstream. Dhila memilih jurusan Pendidikan Bahasa Arab, padahal ia adalah wisudawati terbaik dari sebuah SMAN di kotanya dengan nilai Bahasa Inggris tertinggi Se-Kabupaten. Seorang gadis yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama sedikit pun, namun nekat mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Arab, kurang ekstrim apa hidupnya?

Dua lantai telah terlewati. Sabila, teman bercerita Niswa sepanjang dua lantai tadi telah mengucapkan salam dan berjalan menuju pintu keluar utama. Hilya, Niswa dan Dhila mengambil jalur lain, mereka lebih memilih keluar lewat pintu belakang. Jalur yang lebih dekat untuk menuju kost Hilya. Jalur yang mengharuskan mereka melewati ruangan dosen.

Hilya menoleh sejenak ke arah ruang dosen, menjalani rutinitas hariannya. Ruangan Ustad Kece yang paling dekat dengan pintu utama menjadi sasaran indra penglihatnya. Barangkali, dosen karismatik yang ia kagumi mati-matian itu sedang berada di singgasananya. Setiap hari Hilya menoleh ke ruangan itu, Ustad Kece tak pernah ada disana. Beliau dosen muda yang terlampau sibuk. Namun, ternyata hari ini ada yang berbeda. Hilya mendadak terkesiap ketika tanpa sengaja tatapannya mengarah ke mata elang Ustad Kece yang ternyata juga sedang menatapnya. Entah sebuah kebetulan atau ketidaksengajaan.

Hilya yang merasa jantungnya berdebar tak karuan segera menunduk dan mempercepat laju langkahnya, membuat Niswa dan Dhila pontang-panting menyejajarkan langkah.

‘Astagfirullah, kok bisa pas banget sih? Biasanya juga beliau gak ada di ruangannya.’ Hilya gemetar membatin.

“Kenapa sih, Hil? Jalannya cepet banget tiba-tiba. Capek tau nyusulinnya.” Protes Dhila.

“Hilya sering banget tiba-tiba aneh gitu. Ngeselin ih.” Kali ini Niswa yang manyun. Hilya hanya memamerkan rentetan giginya dengan wajah polos.

“Tadi Ustad Kece ngelihat ke arah aku gak?” Hilya justru bertanya balik pada kedua sahabatnya.

“Allahuakbar, jadi cuma gara-gara itu?” Niswa mendelik kesal. Lagi-lagi Hilya hanya memamerkan rentetan giginya.

“Ustad Kece siapa sih? Setau aku yang ngelihat Hilya tadi Pak Hafid.” Dhila berucap santai, membuat Hilya dan Niswa tergelak seketika.

Bayangkan saja, kurang cuek apa seorang Dhila? Bahkan sebutan tenar untuk dosen terpopuler di Kampusnya saja ia tak tahu.

“Ustad Kece ama Pak Hafid satu orang kali Dhilaaaaaaa..” ucap Niswa gemas.

*****

“Sarah,” Hafid bergumam lirih.

Baru saja ia menemukan tatapan mata yang mirip sekali dengan gadis masa lalunya. Ralat, bukan baru saja, lebih tepatnya pagi tadi ketika ia masih berada di kampus tempatnya mengajar.

Diantara sepuluh ribu mahasiswa yang terdapat di kampusnya, rasanya baru pagi tadi ia melihat seseorang itu. Seseorang yang tatapan matanya persis seperti Sarah. Gadis yang tak pernah mau beranjak sedikit pun dari otaknya. Mendadak ia kembali mengingat ucapan Kamil beberapa hari lalu. Hatinya berbisik,

‘Apa lagi yang aku cari?’

Hafid menghirup aroma dari secangkir teh hangat, kemudian menyesapnya perlahan. Secangkir teh hangat selalu berhasil membuatnya tenang. Jika kebanyakan lelaki mengalihkan permasalahan dan mencari ketenangan lewat secangkir kopi, maka Hafid berbeda. Ia lebih menyukai teh hangat. Lidah dan lambungnya tak mau bersahabat dengan kopi sedikit pun.

Hafid kembali menerawang, batinnya bergemuruh. Sarah Humaira, nama yang seolah terukir paten di hatinya itu benar-benar membuatnya lemah. Jujur, ia hanya menginginkan Sarah untuk menjadi pendampingnya. Namun masalah terbesarnya, ia tak tahu dimana gadis itu sekarang. Sarah benar-benar menghilang dari jangkauannya, meninggalkan tanpa menyisakan sedikit pun jejak agar setidaknya Hafid masih bisa mencari.

Seharusnya, tiga setengah tahun yang lalu Hafid tak perlu menjawab pertanyaan Sarah, tak perlu membantunya mencarikan taksi. Seharusnya setelah memberi bantuan, ia tak perlu lagi menghubungi gadis cantik dengan wajah khas jawa itu. Seharusnya tak boleh lagi ada pertemuan-pertemuan usai perkenalan pertama mereka di bandara.

Masalahnya, Hafid bahkan telah menaruh hati sejak pertama kali mata gadis itu menatapnya cemas dan memohon bantuan. Setiap malam di flat, hanya nama Sarah Humaira yang menggema di fikirannya. Hafid tak pernah mengungkapkan perasaannya pada Sarah, meski nampaknya gadis Jawa itu juga menyimpan rasa padanya. Ia tak ingin mendekati zina dengan status cinta tak halal. Karena pada saat itu, ia belum siap untuk menghalalkan Sarah. Hafid hanya berjanji akan mengkhitbah Sarah usai ia meraih gelar S2 nya. Lebih tepatnya, berjanji pada dirinya sendiri.

Hafid terus berusaha memperbaiki diri, Memantaskan diri untuk bersanding dengan seorang Sarah Humaira. Ia tak pernah berniat melirik gadis mana pun lagi. Baginya, Sarah adalah yang pertama dan ia harap untuk menjadi yang terakhir. Sujud sepertiga malamnya juga selalu terisi dengan nama Sarah.

Namun sayangnya, realita tak selalu sejalan dengan ekspektasi. Belum usai dengan S2 nya, Sarah tiba-tiba menghilang dari jangkauan. Gadis itu tak lagi bisa dihubungi, tak lagi muncul pada kajian sore di masjid kampus, tak lagi terlihat dimana pun. Hafid benar-benar kehilangan, ia frustasi luar biasa. Hafid tak pernah mengerti mengapa Sarah tiba-tiba menghilang bahkan hingga hari terakhirnya di Mesir. Sarah sempurna raib dari kehidupannya.

Hafid pulang ke Indonesia dengan membawa banyak sekali tanda tanya seputar Sarah. Ia kembali ke negaranya dengan setumpuk kenangan. Hal yang membuatnya belum mampu membuka hati untuk siapa pun, bahkan sampai detik ini.

Hafid mengusap wajahnya kasar, kebiasaan ketika perasaannya sedang tak menentu. Ia menarik nafas panjang, perdebatan dalam hati dan fikirannya tak mungkin usai. Ia segera bangkit untuk menyudahi kegiatan tak berfaedahnya itu. Panggilan Maghrib telah menggema, ia harus meminta pendapat dari Sang Maha Pencipta Rasa.

Ketika Rasa Bertahmid (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang