Getar Tersembunyi

19.2K 1.2K 13
                                    

Hafid baru saja mengusaikan lantunan surah Waqiah yang istiqomah ia baca setiap usai subuh. Belum sempat melipat sajadah dengan rapi, ia mendengar pintu rumahnya diketuk. Ia bergegas membukakan pintu.

"Eh, calon penganten. Ngapain pagi-pagi udah ada disini? Bukannya ente lagi di Solo?" Hafid mengeryitkan dahi begitu mendapati Kamil berada di depan pintu rumahnya.

"Ada urusan sedikit di Salatiga, jadi sekalian mampir kesini. Numpang istirahat bentar, Fid. Entar kalo udah balik ke Solo sibuknya masya Allah." Kamil memamerkan wajah lesu, membuat Hafid prihatin.

"Ya udah, ayo masuk. Tidur-tiduran di dalem." Hafid membuka lebar pintu rumahnya, mempersilahkan Kamil untuk masuk.

"Bentar deh, Fid. Sebenernya ane mampir sini soalnya laper plus kangen banget ama lontong sayurnya Bu Sri. Kesana aja, yuk. Besok-besok kalo udah sah ane bakalan ama Shila mulu kesananya. Udah gak bakal ngajakin ente." Kamil memamerkan tawa menyebalkan, membuat Hafid melengos sebal.

"Iya udah ayo, ane juga laper." Hafid segera keluar rumah dan menguncinya. Mereka mengendarai sepeda motor Kamil menuju sebuah warung sederhana di ujung jembatan, tempat favorit mereka ketika sarapan.

"Assalamualaikum, Buk. Sarapan biasa dua porsi ya." Hafid segera menuju seorang perempuan paruh baya yang sedang sibuk berkutat dengan berbagai masakan di hadapannya begitu turun dari motor.

"Waalaikumsalam, eh Pak Dosen. Lama gak sarapan lontong sayurnya Buk Sri. Buk Sri sampek kangen loh." Buk Sri, sang penjual lontong sayur tertawa. Mau tak mau, Kamil dan Hafid ikut mengulum senyum.

"Jadi, udah beres semua persiapan nikahan ente? Ane kebagian bantuin apa?" Hafid mulai membuka obrolan begitu terduduk di tempat favorit mereka.

"Udah beres semua, Alhamdulillah. Kurang dua minggu doang juga. Ente bantuin doa aja, tinggal hati ane nih yang belum beres." Kamil terkekeh ringan, membuat Hafid mengernyitkan dahi atas ucapannya.

"Apa maksudnya hati ente yang belum beres?"

"Masih gak nyangka aja kalo habis ini bakalan ngehidupin anak orang, Fid. Rasanya hati gak karuan, takut gak mampu." Kamil tersenyum miris.

"Ente udah ngambil keputusan hebat, Mil. Allah juga udah kasih tau kalo nikah itu ladang barokah, nikmah, manfaah dan lain-lain, kan? Semua yang ada di dalam pernikahan itu kan rahmah. Kalo udah ada yang dirasa cocok, terus langsung khitbah tanpa banyak lagi menimbun dosa, itu menurut ane keren. Dan ente masuk dalam kategori keren itu." Hafid menepuk lengan Kamil, menularkan semangat.

"Sambung doa terus aja, Fid. Eh ngomong-ngomong, ane emang udah keren dari dulu." Kamil terkekeh, membuat Hafid merasa menyesal baru saja memujinya.

"Ini Pak Dosen, lontong sayurnya. Silahkan." Buk Sri meletakkan dua porsi di meja mereka.

"Iya, Buk. Makasih." Kamil dan Hafid mengangkat suara bersamaan, membuat Buk Sri tersenyum sebelum meninggalkan dua dosen muda itu.
Hafid dan Kamil menikmati sarapan mereka dalam diam. Sibuk mencecap rasa nikmat yang mereka peroleh dari sepiring lontong sayur.

Hafid mengangkat kepalanya sejenak, menatap wajah Kamil sekilas. Ia sungguh tau perjuangan Kamil untuk mampu bersanding dengan Shila. Kamil memendam perasaanya selama bertahun-tahun, semenjak ia mengenal Shila sebagai adik kelas dua tingkatnya di Madrasah Aliyah. Sahabatnya itu hanya sibuk memantaskan diri, tanpa sedikitpun menegur Shila, tanpa memberi banyak harapan palsu pada Shila, tanpa membuat Shila perlu tahu terhadap perasaanya. Kamil hanya memperhatikan Shila dari kejauhan, memastikan bahwa Shila baik-baik saja, memastikan bahwa Shila masih ada di sekitar peredarannya.
Memendam perasaan bertahun-tahun bukan hal yang mudah. Kamil berulang kali merasa patah ketika mendengar ada banyak orang bermaksud mengajak Shila menjalin sebuah hubungan. Namun, ia selalu menghembuskan nafas lega ketika Shila menolak seluruh ajakan itu. Sampai akhirnya, dengan segala kemantapan hati Kamil datang. Kamil tak hanya mengajak Shila menjalin hubungan, ia menawarkan jalan menuju surga untuk mereka lalui berdua. Shila mengangguk bersama semu merah yang menghiasi wajahnya. Sebuah kejutan, ketika Shila mengatakan bahwa ia juga memiliki rasa pada Kamil selama ini. Ia menolak banyak ajakan lelaki hanya karena menunggu khitbah dari Kamil, selain karena Shila juga tak menyukai istilah pacaran tentunya. Penantian Kamil telah usai, beberapa hari yang akan datang ia telah resmi menjadi imam bagi perempuan yang sering ia sebut dalam sujudnya.

Ketika Rasa Bertahmid (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang