Tentang Rasa

18.9K 1.2K 1
                                    

“Dhila, jadi minta anter ke pondok gak sih?” Hilya memanyunkan bibir di ambang pintu kelas.

“Jadi, Hil. Bentaran deh, nih anak-anak ngeselin banget pada gak mau bayar potocopy-an.” Dhila sedikit berteriak dari bangkunya.

“Huft.” Hilya menghembuskan nafasnya kesal. Hari ini ia merasa sedikit sensitif, menunggu membuatnya kesal.

“Ayo udah, maaf ya lama.” Dhila mengangkat tangannya, memamerkan tanda ‘peace’ dari jemari telunjuk dan tengahnya. Hilya hanya mengangguk sembari mengekor di belakang Dhila.

“Kamu tungguin sini aja, aku ambil motor ke parkiran. Panas ini cuacanya, kasian kamu.” Dhila menoleh sejenak, lagi-lagi Hilya hanya mengangguk. Cuaca akhir-akhir ini memang sedikit lebih ekstrim.

Hilya duduk di sebuah bangku depan pintu keluar kampus. Ia mengedarkan pandangan, menikmati keindahan alam yang tersuguh di hadapannya. Sungguh, Hilya benar-benar bersyukur mengenal kota yang menjadi tempat menuntut ilmunya sekarang ini. Kota kecil yang sejuk, tenang dan selalu membuatnya nyaman.

Hilya mengalihkan pandangan ke arah parkiran kampus, mencoba mengamati sosok Dhila dari kejauhan. Sahabatnya itu tak kunjung datang. Hilya mengehela nafas bosan, mungkin Dhila sedang sibuk mencari motornya, bisa dipastikan ia lupa memarkirkan kendaraannya itu di sebelah mana. Dhila adalah pelupa yang ulung. Jangankan sepeda motor, ransel yang umumnya melekat di punggung setiap mahasiswa saja bisa tertinggal di perpustakan kampus. Lagi-lagi, Fadhila Laili adalah gadis paling cuek nan anti mainstream yang Hilya kenal.

Hilya terhenyak ketika matanya menangkap seorang lelaki tengah mengenakan helm di ujung tempat parkir. Ia tersenyum melihat sepeda motor besar yang menjadi latar belakang lelaki itu. Hilya jelas tau siapa lelaki itu meski dengan jarak pandang sejauh ini. Matahari sejatinya. Memandang seorang Ilham selalu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Hilya. Tak peduli dengan jarak yang teramat jauh bagi mereka, tak peduli apakah Ilham juga memandangnya atau tidak. Baginya, menatap Ilham saja sudah cukup. Mendengar pendapat dan sanggahan yang keluar dari bibir lelaki itu juga telah menjadi candu baginya. Hilya telah merasa cukup dengan semua itu.

Hilya masih saja mengikuti laju kendaraan Ilham hingga tak sadar bahwa Ilham telah sempurna berada di hadapannya, menganggukkan kepala pertanda menyapa. Hilya merasa jantungnya tiba-tiba berhenti berdetak. Ia gugup setengah mati dan hanya balas mengangguk. Hilya merasa hatinya menghangat, bibirnya terus saja menyunggingkan seutas senyum bahkan ketika Ilham telah jauh melaju dari hadapannya. Hilya terlampau bahagia. Ia tak menyangka, seorang Ilham Abdullah, lelaki yang bahkan tak pernah memandang kaum hawa, menyapanya. Menyapanya di atas sepeda motor besar dari balik helm. Hilya benar-benar melayang, kejadian ini seperti adegan di dalam film-film romantis yang sering ia tonton. Mendadak rasa kesalnya karena menunggu Dhila yang tak kunjung datang menguap. Ia justru mensyukuri sifat pelupa yang dimiliki sahabatnya itu.

“Hil, yuk. Eh kok senyum-senyum sendiri? Kenapa?” Suara Dhila berhasil membuat Hilya tersadar dari lamunnya.

“Eh, enggak. Gakpapa. Ayo ke pondok kamu.” Hilya tergagap sembari memamerkan rentetan gigi putihnya.

Terimakasih telah mengambil sepeda motor terlalu lama, Dhil.’ Batinnya.

*****

“Ujian akhir kali ini, kalian takehome aja. Lakukan wawancara ke orang-orang yang punya usaha di sekitar tempat tinggal kalian. Jangan lupa gunakan kode etik ketika mewawancarai narasumber, ambil gambar juga. Setelah itu, hasil wawancara diketik rapi dengan format seperti makalah pada umumnya, kasih cover juga. Rabu terakhir UAS, sebelum liburan sudah harus ada di meja saya. Faham?” Seorang wanita muda yang berada di depan ruangan tersenyum usai menuturkan perintahnya, membuat seisi ruangan dengan semangat meneriakkan kata ‘Faham, Bu.’

Ketika Rasa Bertahmid (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang