“Ada yang namanya Hilyah Annisa di kelas ini?” Pengawas ujian yang terlihat cuek tiba-tiba saja membuka suara usai membagikan lembar soal.
“Adanya Hilya Althafunnisa, Pak.” Hilya mengangkat suara dengan suara sinis. Ia tak suka nama tengahnya dipotong.
“Ya mungkin itulah. Mana yang namanya Hilya?” Sang pengawas ujian menjawab santai.
“Saya. Ada apa sih, Pak?” Hilya mengangkat tangannya dengan ekspresi malas.
“Oh, kamu. Nanti setelah ujian menemui saya di ruang akademik, ya.”
Hilya mengernyitkan dahi. Seingatnya, ia tak pernah punya urusan sedikit pun dengan para penghuni ruang akademik yang terkenal dengan kesinisan mereka.
“Ciye, Bapak modusin Hilya ih. Ati-ati, Hil.” Hana terlihat menggoda Hilya dari bangku belakang. Mendadak, seisi kelas riuh oleh kalimat ‘ciye’, membuat Hilya melotot sebal pada Hana.
“Sudah, jangan ribut. Ayo UASnya buruan dikerjain. UAS terakhir kan ini? Biar kalian cepat pulang kampung juga.” Lagi-lagi suara pengawas ujian menggema, menghentikan suasana riuh itu dalam sepihak.
*****
Hilya memutuskan mengajak Nisa untuk menemui pengawas ujian di ruang akademik. Mereka berdua sedang menyusuri lobi kampus yang mulai sepi dengan langkah gontai. Siang ini, soal ujian di hari terakhir berhasil membuat wajah mereka terlihat kuyu.
“Astagfirullah, Nis. Aku lupa. Bapak yang ngawasin kita ujian tadi siapa coba namanya?” Hilya mendadak menghentikan langkahnya.
“Lah, iya juga ya, Hil. Gimana kita ngomong ke ruang akademik kalo nama orang yang dicari aja gak tau.” Nisa menepuk pelan dahinya.
“Eh, Hil. Itu bukannya Bapak yang tadi ya?” Nisa mendadak berteriak girang sembari menunjuk seseorang yang baru saja keluar dari ruang transit dosen.
Hilya tersenyum riang dan segera berlari, meninggalkan Nisa yang masih berteriak girang. Belum sempurna langkahnya menghampiri sang pengawas ujian, mendadak lelaki itu menoleh.
“Kamu yang namanya Hilya tadi, ya?” Hilya mengangguk gugup. Ia terkejut dengan gerakan sang pengawas ujian yang tiba-tiba menoleh. Pengawas ujian itu kemudian membuka map biru yang sedang ia bawa dan mengeluarkan sebuah undangan pernikahan warna coklat.
“Undangan pernikahannya Pak Kamil. Kamu dapat salam dari beliau, wajib datang katanya.”
“Pak Kamil nikah, Pak? Yah, saya patah hati dong.” Nisa yang telah berada di belakang Hilya spontan menutup mulut. Hilya menoleh sejenak, menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.
“Eh, tapi kenapa saya diundang? Ini saya pribadi apa perwakilan PBA 2013, Pak?” Hilya mengabaikan Nisa, mengungkapkan tanda tanya besar yang ada di kepalanya.
“Kalau di kolom nama adanya nama lengkap kamu, menurut kamu itu undangan pribadi apa perwakilan angkatan? Lagipula, kenapa kamu diundang juga bukan urusan saya. Setau saya, saya hanya diberi amanah untuk menyampaikan undangan itu ke orang yang namanya Hilyah Annisa.” Pengawas ujian itu terlihat kesal.
“Hilya Althafunnisa, Pak. Jangan suka korupsi nama orang.” Hilya mendengus sebal. Pengawas ujian di depannya ini benar-benar membuatnya kesal. Selain sikapnya yang dingin, lelaki itu juga selalu salah menyebut namanya.
“Iya, itu maksudnya. Terserah nama kamu siapa. Kalau kamu penasaran, tanya langsung aja ke Pak Kamil.” Pengawas itu kembali bersuara, tetap dengan intonasi dinginnya. Hilya memalingkan mukanya sejenak, merasa kesal.
“Ya udah. Makasih, Pak. Kita duluan.” Hilya terlihat menyeret lengan Nisa.
“Eh, bentar. Bapak namanya siapa?” Nisa justru melepaskan tangan Hilya. Ia melirik id card yang terpampang kosong di kantong kemeja pengawas ujian di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Rasa Bertahmid (Sudah Terbit)
SpiritualeHilya menghembuskan napasnya kasar. Apa yang baru saja didengarnya bagaikan petir. Benar-benar bagaikan petir. Menyambar dengan cepat, menimbulkan sedikit cahaya menakutkan, kemudian memberi efek tangan mendingin dan gemetar. Ia harus bagaimana? Ba...