Bayang Sendu dari Gadis Masa Lalu

24K 1.6K 9
                                    

Sebuah undangan pernikahan berwarna coklat tua mendarat manis dimeja Hafid. Si empunya undangan yang melempar beberapa detik lalu terlihat berjalan mendekat.

“Jadi, Fid. Kapan mau nyusulin ane? Dulu kita janjian maksimal nikah dua tahun setelah lulus S2, kan?” Kamil, lelaki yang baru saja melempar undangan itu berdiri sembari tersenyum lebar di depan meja Hafid.

“Belum genep satu setengah tahun kali, Mil. Dua tahunnya masih kurang enam bulan lebih 25 hari. Ane masih muda juga kan? Gak keburu-buru lah. Ente tuh yang kecepetan.” Hafid menjawab pertanyaan Kamil santai, bibirnya menyunggingkan senyum yang tak kalah lebar.

“Alaahhhh, alibi aja itu mah.” Kamil menimpali.

Hafid hanya mengibaskan tangan tak peduli, kemudian menyesap teh hangat yang ada di hadapannya.

“Ente cari yang gimana lagi sih, Fid? Cantik? Pinter? Anak Presiden? Ente yang ngejar-ngejar kan banyak, pilih satu, khitbah, bagi undangan, selesai. Apa susahnya sih?” Kamil masih melanjutkan omelannya. Hafid tersenyum lebar untuk kedua kalinya menanggapi ocehan Kamil.

“Emang segampang itu? Kalo habis bagi undangan tiba-tiba gak cocok, ente yang tanggung jawab?” Lagi-lagi Hafid menjawab santai.

“Udahlah, gak usah mikirin ane. Ente urus aja resepsi yang kurang sebulan lagi itu. Ane mah gampang, masih pengen travelling kemana-mana dulu.” Imbuhnya.

“Yowes, terserah ente. Ane duluan, ada jam ngajar di PAI angkatan 2013.” Kamil berdiri, Hafid hanya mengangguk mengiyakan.

Belum genap selangkah Kamil bergerak, ia kembali menoleh kearah Hafid. Hafid mengernyitkan dahi memberi isyarat bertanya ‘kenapa?’.

“Mau ane khitbahin anak PAI 2013 satu gak?” Ucapnya sembari berlari sebelum terkena lemparan kertas dari arah Hafid. Beberapa dosen yang melihat tingkah kedua dosen muda itu hanya menggelengkan kepala sembari ikut tertawa.

*****

Hafid Amirul Kawakib dan Kamil Sairozy. Mereka bersahabat sejak masih sama-sama mengenakan seragam putih biru, bernaung di bawah almameter yang sama semenjak tingkat Sekolah Menengah hingga meraih gelar S. Pd. I . Namun, keberuntungan ternyata lebih memihak Hafid, belum juga ijazah S1 nya keluar, proposal pengajuan beasiswa S2 nya di Mesir telah disetujui. Jadilah mereka berdua terpisah karena Kamil lebih memilih melanjutkan pendidikan S2 nya lewat jalur beasiswa dalam negeri. Namun sepertinya, semesta memang enggan memberi jarak bagi persahabatan mereka. Selain karena mereka terlahir dari kota yang sama, usai menggenggam ijazah S2 keduanya kembali dipertemukan dalam sebuah lembaga pendidikan yang sama dengan status sebagai dosen.

Lagi-lagi keberuntungan memihak Hafid, belum genap dua tahun mengajar, ia sudah diterima sebagai dosen tetap Universitas ketika Kamil masih bersyukur dengan jabatan dosen kontraknya. Hafid yang pekerja keras menuai hasilnya, karena sungguh! Hasil tak pernah mengianati usaha. Namun dalam konteks ini, bukan berarti Kamil tak berusaha. Kamil hanya menolak ketika Hafid mengajaknya mengajukan beasiswa luar negeri untuk mengejar gelar S2 beberapa tahun yang lalu. Kamil si sulung yang enggan meninggalkan kedua orangtuanya untuk merantau. Ia memiliki tanggungjawab besar atas keluarga dan adik lelaki semata wayangnya. Oleh karena itu, ia memilih mengajukan beasiswa dalam negeri saja. Mengejar gelar sekaligus menjadi tulang punggung keluarga, karena pada tahun itu ayahnya sedang berada dalam masa penyembuhan usai mengalami kecelakaan hebat dalam bekerja.

Kamil yang berbekal ijazah dalam negeri ketika ujian penerimaan dosen tetap Universitas, tentu saja dengan mudah tergeser dengan beberapa dosen yang mengantongi ijazah luar negeri. Namun Kamil baik-baik saja, baginya waktu masih akan tetap berjalan meski ia tak mengantongi keberuntungannya pada tahun itu. Kamil yakin, selama ia masih mau berdoa dan berusaha, maka Allah tak akan membiarkan usaha hambaNya menguap sia-sia. Tak ada yang mampu mengalahkan kekuatan yakin dan doa, bukan?

Jika masalah karier Hafid lebih unggul dibanding Kamil, maka dalam urusan percintaan lah Kamil menang di atas Hafid. Mereka berdua pernah berjanji, bahwa maksimal mereka akan menikah dua tahun usai sama-sama menggenggam ijazah S2. Namun, belum genap dua tahun berselang, nyatanya Kamil lebih dahulu menemukan tambatan hatinya. Jauh lebih cepat dari Hafid yang masih saja sibuk dengan karier dan hobi travelingnya.

*****

Hafid menyesap teh hangatnya. Ia sedang terduduk santai di halaman belakang rumah baru saja dibelinya tiga bulan lalu.

Fikirannya melayang, ia telah bersahabat dengan Kamil bertahun-tahun. Mereka saling memahami satu sama lain. Jika Kamil telah menemukan tempat pemberhentiannya, maka Hafid ikut bahagia. Namun ucapan Kamil pagi tadi sedikit banyak mempengaruhi fikirannya. Apa yang sebenarnya sedang ia cari? Usianya telah mencukupi untuk menyempurnakan agama dengan jalur pernikahan, ia telah matang. Rezeki untuk menafkahi? Jelas ia terlihat jauh lebih mumpuni dibanding Kamil. Akan tetapi sampai hari ini, ia bahkan belum memiliki satu pandangan pun terhadap wanita.

Hafid tersenyum miris. Perlahan ingatannya menjelajah pada tiga setengah tahun yang lalu, ketika untuk pertama kali kakinya menjejak tanah Negeri Kinanah. Hafid masih mengingatnya dengan jelas.

“Assalamualaikum. Afwan, anta Andonesy?” (Maaf, anda orang Indonesia?) suara seorang wanita membuat Hafid menoleh.

“Eh, waalaikumsalam. Aiwa, ana Andonesy. Ayyu khidmah?” (Iya, Saya orang Indonesia. Ada yang bisa saya bantu?) Hafid menjawab sekaligus bertanya balik sembari menundukkan pandangan usai menatap sejenak seseorang di hadapannya.

“Oh Alhamdulillah. Ana calon mahasiswi baru Al-Azhar Banat. Bahasa arab ana belum begitu lancar. Bisakah antum membantu ana mencari taksi yang akan mengantarkan ana ke alamat ini?” Gadis itu menunjukkan selembar kertas di hadapan Hafid.

Sejujurnya Hafid sama saja, ia juga mahasiswa baru meskipun ia berada di tingkat yang mungkin lebih tinggi dibanding gadis di depannya itu. Namun, gelar wisudawan terbaik yang ia dapatkan dari Indonesia tentu saja banyak membantunya. Hafid mengangguk, kemudian membantu gadis tersebut sesuai permintaannya. Setelah berhasil menghentikan sebuah taksi kosong, Hafid segera menyapa sang sopir menggunakan kemampuan bahasa Arab ‘Ammiyahnya untuk menyampaikan sesuatu, ia berbalik menghampiri gadis tadi.

“Ana sudah mengatakan tujuan Ukhti. Ukhti tinggal duduk saja sampai supir taksi ini menghentikan laju kendaraan.” Hafid menunduk sopan.

“Oh, syukron jazilan, ya Akhi. Ana tidak akan lupa dengan kebaikan antum, insya Allah. Jazakumullah khairal jaza’.” Gadis itu memasuki taksinya. Hafid hanya tersenyum dan mengangguk.

Setelah taksi tersebut berlalu, Hafid segera mencari satu taksi lain yang akan membawanya ke flat yang telah disediakan oleh lembaga penerimaan beasiswa. Namun, taksi yang baru saja beberapa menit lalu meninggalkannya itu mendadak berjalan mundur. Seseorang yang baru saja dibantunya membuka kaca mobil.

“Afwan, Akhi. Nasiitu. Ini kartu nama ana. Jika Akhi butuh sesuatu jangan sungkan untuk menghubungi ana. Selagi ana bisa membantu, insya Allah ana bantu. Assalamualaikum.” (Saya lupa) Gadis itu menyodorkan sebuah kartu nama yang segera di terima oleh Hafid. Ia  menganggukan kepalanya sembari tersenyum dan kembali memasukkan kepalanya ke dalam mobil.

Hafid membalas anggukan gadis itu dan juga tersenyum.

“Syukron, Ukhti. Waalaikumsalam.” Jawabnya lirih.

Hafid mengusap wajahnya ketika mengingat kembali bayangan itu. Pertemuan itu sudah hampir empat tahun berlalu, dan Hafid masih saja enggan untuk terlupa.

Gadis itu, yang tiga setengah tahun lalu berhasil membuatnya sejenak terpaku. Berhasil mengacaukan seluruh peredaran darah seorang Hafid meski hanya dengan menatapnya dari kejauhan. Gadis yang tatapannya dalam tunduk berhasil membius otak seorang Hafid Amirul Kawakib. Gadis yang sampai saat ini, bayangnya saja masih mampu membius Hafid.

Hafid lagi-lagi tersenyum miris, apakah ini salah satu faktor ia masih belum mampu melirik seorang gadis? Hafid menggeleng sendiri. Gadis itu bahkan tak ia ketahui lagi dimana rimbanya. Lalu apa yang sedang ia tunggu?

Ketika Rasa Bertahmid (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang