Matahari Sejati

19K 1.3K 7
                                    

“Kita pertegas aja kalo anak bahasa Arab itu bukan hanya anak-anak kolot yang taunya cuma lembaran-lembaran kitab kuning. Kita bikin sensasi lain yang sekiranya bikin banyak orang takjub. Jadi endingnya, jurusan Bahasa Arab milik kita ini semakin bertambah peminatnya tiap tahun.” Seorang lelaki sedang berpanjang lebar dalam sebuah forum rapat.

Hilya tersenyum, matanya menatap lurus ke arah seseorang yang baru saja mengemukakan pendapat tersebut. Hatinya berkali-kali menggumamkan tasbih. Lelaki yang baru saja berhenti berbicara itu telah berhasil menjadi penghuni hati Hilya.

Lelaki itu, Ilham Abdullah. Kakak tingkat yang berada dua semester di atas Hilya. Seseorang yang membuat Hilya jatuh hati untuk pertama kalinya. Terlalu sederhana, lelaki itu hanya mengajukan pendapat dalam sebuah mata kuliah yang Hilya juga ikut di dalamnya.

Hilya mengambil mata kuliah semester atas karena karena nilai akhir semesternya yang tinggi. Program percepatan agar ia bisa menggapai target 3,5 tahun untuk meraih gelar Sarjana. Saat itulah, ia bertemu dengan seorang Ilham. Lelaki yang tak pernah mau memandang wanita kecuali ketika hendak mengajukan pendapat dalam sebuah forum atau organisasi. Lelaki yang tak pernah meninggikan suaranya ketika mendebat pendapat orang lain, lelaki dengan pengetahuan seluas dunia. Lelaki yang berhasil membuat seorang yang sulit jatuh cinta macam Hilya mampu melabuhkan hatinya.

Semesta seolah hendak menyatukan mereka. Satu semester yang lalu, ketika Hilya resmi terpilih menjadi salah satu pengurus di Organisasi Mahasiwa Pendidikan Bahasa Arab atau yang biasa disebut Ormawa PBA, ia terbelalak ketika mengetahui bahwa Ilham juga merupakan salah satu pengurus Ormawa tersebut. Hilya bahagia? Tentu saja. Semester itu adalah semester paling membahagiakan baginya. Satu kelas dan satu organisasi bersama seorang lelaki yang ia jatuhi hati.

Detik ini, hampir satu tahun sejak Hilya mengenal Ilham. Hilya masih saja mencintai lelaki itu dalam diam. Ia tak pernah berani berharap lebih. Ilham adalah lelaki dengan strata yang terlampau tinggi baginya. Putra dari seorang Kyai masyhur di sebuah kota yang terkenal dengan gudegnya. Hilya cukup sadar diri, ia bukan siapa-siapa meski sejujurnya nama Ilham Abdullah lah yang senantiasa menggema dalam sepertiga malamnya.

Jika Hilya mengagumi Hafid setengah mati bahkan menganggapnya matahari pagi, maka sesungguhnya Ilham lah matahari sejati yang senantiasa menghangatkan hatinya cukup dengan sekali tatapan.

*****

“Ciye, yang habis kumpulan Ormawa. Merah merona tuh muka.” Nisa mencolek pipi Hilya begitu gadis itu meletakkan tasnya di bangku.

“Apaan sih, Nis? Biasa aja ih.” Hilya menunduk, mencoba menyembunyikan rona bahagianya.

“Jadi, kehebatan apa lagi yang kau dapat dari lelaki kharismatikmu itu hari ini, Nona Hilya?” Nisa menarik kursi kosong yang berada di samping Hilya.

“Tau gak sih, Nis? Gus Ilham ternyata gak cuma hebat dalam segi agama aja. Pengetahuan umumnya juga perlu diacungi jempol. Aku sampek baca tasbih berkali-kali dalam hati pas kumpulan tadi. Kayaknya pahala aku bakal tambah gede deh tiap kumpulan Ormawa.” Cerocos Hilya.

“Udah keliatan, Hil. Orang pinter mah dari jauh udah keliatan pinternya. Cocok lah ama kamu. Semoga jodoh, amin.” Nisa tersenyum tulus.

“Apaan coba? Gak mau ketinggian, Nisa. Aku siapa sih?” Hilya tersenyum miris.

“Dijawab amin aja sih, Mbak Hilya. Mumpung hari Jumat, biasanya mustajabah loh.” Nurul yang tiba-tiba telah berada di samping Hilya ikut menyahut.

“Udah ih, pada bahas apaan coba? Pak Bakri udah hadir tuh. Balik ke bangku kalian gih.” Hilya terkekeh sejenak, mengusir kedua temannya agar pembicaraan tentang lelaki karismatiknya tak berlanjut lebih jauh. Bukan apa-apa, hanya saja tak pantas rasanya membicarakan sang putra Kyai besar.

*****

Hilya baru saja menuruni tangga ketika matanya menangkap siluet Ilham di pintu masuk utama kampus. Ia berhenti, mematung sejenak kemudian tersenyum. Ilham sempurna mengalihkan perhatiannya. Hilya bahkan terlupa jika saat ini sedang berdiri tepat di depan ruangan dimana ia biasa melakukan rutinitas menoleh wajibnya.

“Hilya, cepetan dikit dong jalannya, gak usah ngeliatin kaum adam terus. Dosa tau.” Suara Hana membuyarkan tatapan syahdu Hilya.

“Hana ih, suka ngerusak suasana. Lagi mandangin pangeran juga.” Hilya memajukan bibirnya. Hana, Niswa, Nisa, Dhila dan beberapa kawan Hilya yang lain sempurna tergelak.

“Biasanya kalo lagi lewat sini yang ditoleh arah kanan. Kok sekarang pandangannya lurus-lurus aja sih, Hil? Ya gak, Nis?” Sabila tertawa pelan, disusul anggukan oleh Nisa sebagai jawaban atas pertanyaan Sabila.

“Beda dari biasanya ini sih, Bil. Kalo buat pemandangan yang beginian sih gak ada yang bisa ngalahin.” Hilya terkekeh.

“Lebaynya kambuh kan?” teriak Niswa.

Mereka melanjutkan langkah yang sempat tertunda dengan tawa yang belum memudar. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata elang dari arah kanan yang sedari tadi tak lepas menatap Hilya. Sebuah tatapan yang bahkan Hilya sendiri tak menyadarinya.

*****

Baru part 6
Cuz ke part selanjutnya yah..
Jangan lupa,.
Tetap jadikan Allah sebagai tempat bersandar yang utama.

Ketika Rasa Bertahmid (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang