Masih Matahari Sejati

18.7K 1.2K 10
                                    

Hilya tersenyum memandangi layar ponsel. Lelaki berkemeja batik warna dongker itulah sebabnya.

‘Kita serasi banget sih, Pak. Eh astagfirullah, kamu ngomong apa, Hil?’

Hilya segera mengistighfari hatinya. Ia tersadar dari lamunnya ketika ponsel yang ia genggam bergetar.

ORMAWA PBA:

Helen: La tansa, guys. Kumpulan ntar sore, pembubaran panitia buat acara kemarin. Ayo yang masih di Salatiga hadir ya. Lumayan dapet kaos sisa doorprize kemarin. (Jangan lupa).

Faris: Tempat?

Helen: Aula masjid kampus. Ontime yakk,

Iis: Insyaa Allah hadir. Angkatan 2013 masih ada yang di Salatiga?

Hilya: Angkat tangan, Kakak. Tapi gak janji ya, soalnya cari tebengan dulu. Si Dhila udah pulang kampung sih.

Helen: Sip, usahain hadir ya, Hil.

Hilya: Insyaa Allah, Mbak.

“Mbak, gagal pulkam lagi nih.” Hilya merebahkan tubuhnya di samping Sari.

“Kenapa?” Sari menoleh sejenak, kemudian kembali fokus pada androidnya.

“Pembubaran panitia acara PBA kemarin. Eh, Mbak, kamu belum mau pulkam kan? Anterin aku ya? Pulangnya besok aja. Deket kan rumahnya? Plisss.” Hilya merajuk, menarik-narik manja lengan Sari.

“Lagi-lagi aku ikutan ketunda pulkam, kan?” Sari melengos, memasang ekspresi pura-pura sebal.

“Ayolah, pliss.” Hilya masih merajuk, kali ini dengan ekspresi wajah sok imut.

“Iya, iya. Kapan sih Sarifatul Cholidah nolak permintaannya Nona Hilyah Annisa?” Sari melirik Hilya, membuat Hilya memasang senyum terbaiknya. Namun beberapa detik kemudian, senyumnya surut.

“Hilya Althafunnisa, Mbak. Jangan suka korupsi nama orang sih.” Hilya mengerucutkan bibirnya. Ia tak suka jika nama tengahnya dihilangkan. Baginya, kata ‘Althaf’ pada namanya sangatlah indah.

Sari tergelak, ia tau Hilya tak suka jika namanya disingkat pada bagian tengah. Seluruh orang terdekat Hilya paham akan hal itu. Masalahnya, kebanyakan orang merasa sulit menyebut nama tengah Hilya, mereka akhirnya justru mengenali Hilya dengan nama Hilyah Annisa. Nama yang menurut Hilya terlalu monoton dan tak enak di dengar.

*****

“Alhamdulillah acara kemarin berjalan lancar. Tapi, yang namanya sebuah acara pasti ada kekurangannya. Setelah dievaluasi, ada beberapa bagian yang saya rasa perlu diperbaiki untuk ke depannya. Pertama,  bagian MC. Konsep kita kemarin kan MC bahasa Arab, tapi pada beberapa bagian, masih ada kalimat yang menggunakan bahasa Indonesia. Kedua, bagian penjaga absensi di depan ruangan. Penjaga absensi seharusnya sudah siap lima menit sebelum acara, bukan malah baru sigap setelah beberapa tamu dan peserta datang. Terakhir, bagian dokumentasi. Sie dokumentasi seharusnya selalu siap dalam berbagai momen, tidak boleh lengah sedikit pun. Masak iya,  mau ngefoto momen pemberian sertifikat ke narasumber masih harus muter-muter dulu nyari sie dokumentasi?” Helen berpanjang lebar. Di depannya, belasan anggota Ormawa melingkar takzim mendengar apa yang ia tuturkan.

Hilya menarik napas dalam. Kemarin, ia mendapat bagian penjaga absensi. Dan, ia harus terlambat karena mendadak ada masalah.

“Ada masukan?” Lagi-lagi suara Helen mendominasi. Seorang lelaki yang duduk beberapa jarak dari Helen terlihat mengangkat tangannya.

“Iya, Faris. Tafadzol.” (silahkan) Helen tersenyum, mempersilahkan Faris.

“Aku cuma ngasih saran sih, kalo pada gak setuju gakpapa. Ini buat bagian MC, kita kan punya kendala MC bahasa Arab masih ada selingan beberapa kata dalam bahasa Indonesia. Kalo menurut aku sih, ORMAWA PBA harusnya udah punya teks resmi MC. Biar kalo ada acara ntar gampang, tinggal ngerubah beberapa kata aja. Kalo buat acara kemarin, masih ada yang salah itu karena kita acara mendadak. Kita semua nyerahin tugas ngerubah MC bahasa Indonesia ke bahasa Arab cuma ama petugas MC, sementara petugas MC juga punya tugas lain. Jadi gak efektif dan banyak kesalahan karena memang kurang persiapan.” Faris berpanjang lebar, disambut anggukan kepala dari beberapa anggota ORMAWA yang lainnya.

Ketika Rasa Bertahmid (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang