-RASA-

10.3K 1K 38
                                    

"Udah gede, tapi nangis di tempat umum. Gak malu?" Ucap Alvin sambil berjongkok di depan Randika yang sedang melipat kakinya dan menenggelamkan kepalanya di kedua tangannya, persis kaya anak kecil dimusuhin temennya.

"Kok lo di sini sih? hiks" Randika menatap pria di depannya itu sambil buru-buru mengusap air matanya kasar. Matanya sudah sembab karna nangis.

"Gila aja gue ninggalin temen gue sendirian. Gue yang bawa lo, gue yang harus yang harus tanggung jawab lah." ucap Alvin

"Jangan nangis lagi. Gue gak bakalan tanya lo kenapa, tapi please jangan nangis lagi." Lanjut Alvin sembari mengusap air mata Randika. 

"Gue... Hiks... ma-maf... Hiks... " Randika bicara dengan sesegukan.

"Udah ah jangan cengeng. Ayok pulang." Alvin meraih lengan Randika kemudian mengajak si imut itu untuk pulang.

Saat di dalam Bis, Randika masih menangis dalam diam. Lama kelamaan air matanya kering juga. Lelah menangis, Randika akhirnya terlelap di bahu Alvin. Tangan Alvin masih setia menggenggam tangan teman-nya ini. Tanpa sadar bahwa banyak pasang mata yang memperhatikan mereka aneh.

Sampai di Asrama, Alvin menidurkan Randika di kasur. Tadi Alvin gendong Randika dari pemberhentian bis sampai ke kamar, lumayan jaraknya sekitar 200 meter. Randika terlihat lemas dan kelelahan. Alvin melepaskan sepatu Randika dan baju-bajunya. Lalu ia menggantikan dengan baju tidur.

Pas lagi ngelepasin bajunya, Alvin menyentuh kulit Randika yang suhunya tinggi. Kemudian ia menyentuh keningnya untuk memastikan. Benar, Randika demam.

"Lo sakit ya ?" Alvin nanya ke Randika yang udah gak sanggup jawab, kesadarannya tinggal setengah.

Buru-buru Alvin mengambil air dingin dan handuk kecil, lalu ditempelkannya handuk kecil itu ke kening Randika. Ia lalu menyelimuti tubuh Randika dengan selimut dan mengatur Ac agar suhunya tidak terlalu panas atau dingin.

"Dika gue mau pergi beli obat sama makan buat lo. Kalo ada apa-apa lo telpon gue ya ? Jangan kemana-mana." ucap Alvin, Randika sempat mengangguk pelan.

Alvin pun bergegas pergi ke warung bubur ayam di pertigaan Asrama. Tidak lupa ia membeli obat penurun demam ke apotik. Tidak perlu waktu lama untuk membeli barang-barang itu, asrama ini memang dibuat di tempat yang sangat strategis.

10 menit kemudian Alvin sudah kembali membawa bubur dan obat yang ia beli tadi. Segera ia menyiapkan bubur itu ke dalam mangkok.

"Dik, bangun... gue bawain lo bubur. Makan dulu sini." ucap Alvin sambil menggoyangkan tubuh Randika pelan. Sayup-sayup Randika mulai bangun dari tidurnya, ia pun membangkitkan tubuhnya perlahan untuk duduk.

"Lo kok beliin gue bubur sih ? Kaya gue penyakitan banget." protes Randika setelah melihat menunya. Gak tau di untung emang Randika.

"Bawel lo, ini supaya gampang dicerna. Gue yakin perut lo gak bisa langsung nerima nasi utuh ataupun mie ayam. Udah makan aja dulu, yang penting lo bisa minum obat ntar." jelas Alvin. Kemudian Alvin menyendokkan bubur dan menyuapkannya ke Randika.

"Ngapain ?" Tanya Randika.

"Main paret!" jawab Alvin

"Yah nyuapin lu lah bego. Udah gak usah cerewet, buruan makan." sambung Alvin sambil menyuapi Randika. Terlihat raut bahagia di wajah Randika, dia seneng diperhatiin gini sama Alvin yang kaku pula.

"Lo kalo perhatian gini ke gue, jadi So sweet deh, Al." ucap Randika sambil tertawa kecil.

"Sialan lo, gue gak mau aja ada bangkai mayat lo di kamar gue ntar." ketus Alvin bercanda.

I Am Wrong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang