"Alah masa kalian mau masuk kelas? Gue ditinggal gitu?" cerocos Aland ketika mendengar bahwa Alfa dan Tirta memilih kembali ke kelas ketimbang menemaninya membolos karena takut dihukum Samudra.
"Masalahnya, gue nggak mau dihukum bokap lo." Tirta berujar seraya mulai menaiki tangga menuju kelas dua belas yang berada di lantai tiga.
"Hooh, kalo lo mau bolos aja sendiri sono. Gue nggak mau ikut-ikutan, mending dihukum Bu Nuke bersihin toilet. Toh nanti nggak bakalan diawasin," timpal Alfa.
Aland mendengus. "Nggak solid lo berdua."
Tirta mengangkat bahunya. "Masalahnya, hukuman dari bokap lo itu selalu dilakuin di tengah lapangan basket dan jadi pusat perhatian. Muka gue mau ditaruh di mana kalo Yosi liat"
Alfa menaikkan alisnya. "Lo naksir Yosi?"
"Alah, alesan lo berdua. Sono masuk!" Aland berseru kesal dan melangkahkan kakinya menapaki tangga lagi menuju rooftop, meninggalkan Alfa dan Tirta yang saling berpandangan.
"Gimana nih anjir? Sekarang kan jadwalnya Bu Euis, lo pasti tau anehnya itu guru." Tirta berbicara sambil mengintip sedikit ke dalam kelas.
"Durhaka lo jadi murid. Eh, tapi emang bener sih. Nggak pernah gue nemu guru ajaib selain dia selama gue sekolah dari TK sampe sekarang."
"Nah makanya, alesan apa yang kita pake sekarang?" tanya Tirta sambil mengacak-acak rambutnya yang agak ikal.
"Ngomong aja abis jenguk nenek lo yang sakit," celetuk Alfa.
"Nenek gue sehat-sehat aja, malahan sekarang dia lagi sibuk ngomelin cucu-cucunya." Alfa memutar bola matanya malas. "Ini cuma buat alesan bego, ngarang dikit lah."
"Kalo Bu Euis nggak percaya gimana? Soalnya minggu kemarin kita pake alesan yang sama."
Alfa mengernyitkan dahi, berpikir. "Bilang aja nenek lo banyak, soalnya kakek lo tukang poligami."
"Asem lo."
"Yaelah Tirta, ini cuma alesan, bukan fakta. Oke?"
Meskipun tak rela kakeknya disebut melakukan poligami meskipun sebenarnya itu hanya kedok untuk alasan, Tirta mengangguk dan memilih mengikuti saran Alfa.
Semoga saja Bu Euis dapat percaya dan mengerti, tanpa harus memberikan tugas tambahan berupa menyalin beberapa halaman buku paket. Edan, bisa-bisa tangan mereka menjadi keriting karenanya.
***
Aland mengerjapkan matanya beberapa kali, ia kini sedang berbaring di atas bangku panjang di rooftop. Matanya memicing menatap langit biru yang berawan, untung saja karena jika langit benar-benar biru tanpa awan Aland pasti akan kepanasan di sana. Padahal ia tidak ingin beranjak apalagi turun ke bawah.
Aland kembali duduk, mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang berada di dalam saku celananya dan menyulutnya. Menghisap beberapa kali sebelum membuang benda itu ke lantai dan menginjaknya. Kebosanan menghinggapi Aland.
"Bolos lagi?" Aland menoleh ke belakang dan hampir saja berseru ketika mendapati ayahnya, Samudra sedang menatapnya. Tubuhnya yang terbalut setelan kantor perlahan mendekati dirinya.
"Eh Ayah, siang Yah." Samudra mengembuskan napas pelan. "Kenapa kamu bolos dan memilih diam di sini?"
"Enak, adem. Ayah juga dulu sering ke sini, Mama yang bilang." Samudra merasa kalau ia harus memperingatkan Lalisa untuk tidak mengatakan segala sesuatu kenakalannya ketika remaja, karena hal itu bisa Aland jadikan tameng untuk membela dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sheiland (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[TELAH TERBIT DAN TERSEDIA DI SELURUH TOKO BUKU DI INDONESIA] 'Tentang lara yang lebur dalam tawa.' Bagi Sheila, menyukai Aland adalah sesuatu yang mudah. Kakak kelasnya itu populer dan tampan. Namun, menyukai Aland tentu membutuhkan tenaga ekstra...