Rasa aku ke kamu itu kayak madu, Shei. Manis, tapi nggak akan pernah bisa membusuk.
Aland Alano Navvare.
***
Sandi menghentikan mobil di halaman rumahnya. Mengembuskan napas berat, memainkan dream catcher itu sembari bergumam. "Aku pasti bakal nemuin kamu, Shei."
Sandi keluar dari mobil, melangkah gontai menuju rumah di mana ayahnya telah menunggunya. Sandi sebenarnya merasa enggan untuk bertemu, sebab mereka memang tidak terlalu dekat. Hanya saja, demi bertindak sopan, Sandi menyanggupi hal ini.
Keadaan di dalam rumah sama saja setiap harinya. Sepi, kosong dalam artian lain dan tak bernyawa. Saat Sandi masuk ke ruang tengah yang luas, terlihat ayah dan ibunya sedang berbincang dengan sikap yang terkesan kaku. Mungkin karena masih terbawa suasana kantor. Entahlah, Sandi juga tidak begitu peduli.
"Sore, Ma, Pa," sapa Sandi. Keduanya menoleh dengan ekspresi berbeda, ibu Sandi tersenyum, sedangkan ayahnya terlihat masam.
"Dari mana kamu?" tanya Ayah Sandi tanpa basa-basi, nada bicaranya terdengar dingin.
"Ada urusan di luar," jawab Sandi kaku. Ia masih dalam posisi berdiri, karena dalam keluarganya itu belum boleh duduk jika belum dipersilakan oleh yang lebih tua.
"Duduk," titah ayah Sandi, Sandi menurut.
"Kamu baik-baik aja kan, San?" tanya ibu Sandi. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang nyata, tetapi Sandi sama sekali tidak tersentuh.
"Aku baik-baik aja."
Ibu Sandi mengembuskan napas lega. "Syukurlah," ucapnya. Ia memang jarang sekali di rumah, sibuk mengurus pekerjaan hingga tak bisa memerhatikan Sandi dengan baik.
"Kamu nggak seharusnya pergi keluar nggak jelas, Sandi. Lebih baik kamu belajar agar lulus dengan nilai terbaik," ujar Bara, ayah Sandi dengan nada memerintah. Dan itulah yang tidak disukai Sandi dari ayahnya. Otoriter, pengatur.
"Apa nggak cukup aku belajar di kampus hampir seharian? Belum kegiatan kampus yang juga nyita waktu," balas Sandi kesal, masih terbawa suasana hatinya yang buruk karena tak dapat menemukan Sheila.
"Kamu nggak akan cukup dengan belajar seperti itu, masih butuh banyak usaha agar kamu bisa seperti Papa."
Lelah, kata itulah yang menggambarkan bagaimana Sandi saat ini. Ia lelah dituntut ini itu, dituntut menjadi seperti ini dan itu. Bukannya ia tidak tahu terima kasih, hanya saja Sandi merasa tidak siap.
"Sandi rasa, Sandi nggak siap untuk ambisi Papa tentang bisnis itu," ungkap Sandi tenang, tak ada emosi di suaranya.
"Kamu harus siap, itu gunanya kamu jadi anak Papa."
"Jadi aku dipilih cuma untuk dijadikan prajurit bentukan Papa sehingga bisa menguasai bisnis itu?"
Ucapan Sandi itu sontak memicu emosi Bara, dia mengambil gelas berisi air putih dan menyemburkannya ke arah Sandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sheiland (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[TELAH TERBIT DAN TERSEDIA DI SELURUH TOKO BUKU DI INDONESIA] 'Tentang lara yang lebur dalam tawa.' Bagi Sheila, menyukai Aland adalah sesuatu yang mudah. Kakak kelasnya itu populer dan tampan. Namun, menyukai Aland tentu membutuhkan tenaga ekstra...