2**Doll*

6.2K 349 8
                                    

Minku's pov

Begitu sampai di kamarku aku merebahkan badanku di ranjang. Aku menghela nafas panjang, lelah rasanya mengingat sebentar lagi Kiya nggak di sini lagi. Lalu aku mati kebosanan terkurung di rumah ini? Sungguh, tidak ada hal menarik di rumah ini. Yang ada aku pasti hanya akan di suruh belajar, belajar, belajar! Bersihkan rumah, ini, itu. Apa yang menarik dari hal itu? Sama sekali tidak!

Aku menghela nafas lagi. Lalu mengambil boneka yang selalu berada di samping bantal tidurku. Boneka beruang warna biru, mata bulat warna hitam, selalu tersenyum, pakai baju warna putih yang tulisannya 'minkukiya' dan punya rambut warna biru juga, rambutnya diikat ke atas pakai ikat rambut warna pink. Aneh memang, soalnya tidak pernah aku melihat boneka beruang punya rambut kayak si upin. Cuma kali ini. Serius. Udah itu bajunya bisa ada tulisan minkukiya masa sih dia cetak baju buat boneka?

Aku selalu tersenyum jika melihat boneka ini. Boneka ini selalu tersenyum sih. Ini hadiah ulang tahunku ke-10 dari kiya. Entah dari mana dia mendapat boneka seperti ini.

"Hai Momo." Aku melambai lambaikan tangan pada boneka itu yang kuberi nama Momo. "Apa kabar?" Aku tersenyum padanya. Aku tau, aku pasti sudah sinting! "Kau pasti tau kan Kiya besok harus pindah? Menurutmu kenapa? Kau pasti tau lah... oke, kau diam saja. Aku yang menjawabnya sendiri. Kiya mau nemenin neneknya sama ibu nya. Gak usah terkejut. Aku juga tadi nya gitu. Tapi... kiya pasti kembali kan?" Curhat dengan boneka benar-benar akan membuatku merasa tambah gila dari biasanya.

Aku memukul pelan kepalaku.
Bodoh, bodoh, bodoh. Masa curhat sama boneka? Aneh, sinting, gila, apa aja deh.

Aku memeluk Momo dan tertidur.

~♪~

Aku bangun dari tidurku lalu mengucek-ucek mata. Aku memeriksa jam yang terpajang di kamarku yang menunjukan pukul 5. Aku tidak tau itu pukul 5 pagi atau sore.

Setelah kupastikan ternyata sore.

"Bibi!!!" teriakku.

"Apa? Tadi bibi bilang jangan teriak!"

"Lapar Bi... makan di luar yuk?" tanyaku karna aku berani menjamin pasti tidak ada makanan di meja makan.

Bibi pun mematikan televisi. "Ayo! Bibi juga lapar. Kamu sih, tidurnya kelamaan jadi makanan tadi siang udah bibi buang."

Gampang banget, batinku, makanya bi... Gak usah masak!

"Lagian bibi gak pernah masak enak."

"Hei. Apa kau bilang? Kau selalu makan lahap masakanku"

"Kalau perutku lapar, semuanya juga kumakan! Ayo lah. Cepat."

Kami pergi ke rumah makan di pusat kota yang sudah sering kami kunjungi.

"Rame bi...," keluhku setelah kami sampai di rumah makan itu.

"Ayolah." bibi menarik tangan ku masuk ke dalam sedangkan masih banyak orang yang keluar dari sana.

Di tengah-tengah keramain, seseorang menyenggol bahuku dari arah yang berlawanan. "Aw-" Aku berhenti di tempat dan kulepas tangan bibi membiarkan bibi masuk ke dalam terlebih dahulu. Aku berbalik ke belakang berharap orang itu akan berbalik.

Sial. Kukira dia akan meminta maaf.

Dia tidak berbalik sama sekali. Aku yakin dia lelaki seumuranku. Laki-laki menyebalkan.

Akupun menembus kerumunan itu.
Lalu kuperhatikan meja-meja mencari Bibi Vanes. Kulihat Bibi Vanes melambai-lambaikan tangannya padaku, lalu aku menghampirinya. "Bibi sudah pesan?" tanyaku.

"Sudah. Makanan kesukaan kan?" tanya bibi seakan sudah tau makanan apa yang akan kupesan.

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Bi, bisa bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab bibi sambil memandangi menu yang tertera di meja. Padahal katanya tadi udah pesan, buat apa lagu liat-liat menu?

"Ibuku kerja apa?" tanyaku. Sebenarnya aku tau, tapi aku mempertanyakan hal ini, karna aku tau ini langkah pertama untuk mencapai pertanyaan inti.

"Emmm, guru?"

Aku tau itu. Katanya, ibuku tinggal di asrama dan liburan semester ini dia tidak bisa pulang. Mungkin ... libur semester depan ibuku datang menjemputku.

"Lalu kenapa ibu tidak pernah bisa dihubungi?" Aku mulai menyadari aku mirip dengan detektif sedang mengintrogasi yang pernah kutonton di televisi. Aku keren juga kayaknya.

"Entahlah. Kamu tanya saja ibumu. Aku nggak begitu mengerti." Lalu pesanan kami datang. "Makanlah. Tidak usah di pikirkan"

Ya, kurasa lebih baik seperti itu.

~♪~

Aku duduk bersila di sofa sambil menonton televisi siaran kartun.

"Minku. Ganti siarannya dong," ucap Bibi Vanes yang tiba-tiba muncul di depanku.

"Bibi menonton di kamar bibi aja," balasku dengan nada jengkel. Mengganggu!

"Eh, dengar-dengar Kiyama mau pindah, ya? Kasihan sekali keponakan Bibi Vanes tercinta.... Lalu kemana kau akan kabur?" tanya Bibi Vanes dengan seringainya yang membuatku menatap sinis tepat di matanya.

Aku mematikan televisi dan melempar remot ke sofa panjang. "Makan tuh siaran!" Lalu aku pergi ke kamar tanpa memperdulikan ucapan Bibi Vanes yang sejujurnya membuatku kembali teringat dengan hal yang ingin kulupakan.

"Kau membuatnya marah," ucap Paman San pada Bibi Vanes yang masih terdengar di pendengaranku .

~~~~

A/n

Chapter 2 nya juga kok nge-bosan-i ya?

Tenang tenang masih chapter 2, cerita ini pasti end kok.

Salam manis.
Love rezyren.

🦄

Pure Witch [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang