26**Traitor!*

2.5K 179 2
                                    

Aku harus mengacau, bagaimanapun caranya! Nyawa teman-temanku bergantung padaku.

Meskipun diikat dengan sihir yang kuat, aku tetap berusaha menciptakan gerakan tidak berguna, hanya untuk mereka percaya sepenuhnya aku sedang memberontak gila-gilaan.

"Ada kata-kata terakhir, anak manis?" tanya Rose-sama lembut namun terdengar menusuk di kupingku.

Kata-kata terakhir, huh?!

"Kata-kata terakhirku ... " Aku diam sejenak. Mempersiapkan diri untuk mengeluarkan ceramahku. "Dasar bodoh kalian semua! Kalian mau diperalat oleh bajingan bodoh itu?!" Aku menatap orang-orang yang tengah menunggu kematianku. "Kalian bodoh, dasar bodoh! Kalian diperalat oleh bajingan sialan ini! Dia berusaha mengadu domba Xylia dan Yenyz! Dia musuh yang sebenarnya! Dia harus dimusnahkan!" Semuanya diam.

Apa kata-kataku kurang untuk membuat mereka marah?!

"Aku tau kalian tidak semua yang jahat! Sebagian dari kalian pasti mau keluar dari kegelapan! Kalian diperbudak!"

Semuanya masih terdiam. Belum cukup juga?

"Bodoh ... Dasar bodoh kalian!" teriakku sambil menunduk. Aku gagal total untuk membuat mereka marah atas umpatanku.

"Itu saja?" tanya Rose-sama. "Ini bukan tempat orang baik sepertimu, sayang."

"Apakah menyusup perbuatan baik?! Seharusnya orang yang baik padamu yang harus dipenggal, bajingan!" jawabku sinis. "Hei, dengar! Aku tau kalian semua pasti ingin bebas. Kalian masih memiliki hati yang bersih. Kalian bisa bertarung bersamaku!" Aku menatap sekelilingku seolah memberi ceramah. Tak sengaja, pandanganku bertemu dengan Warren. Dia tersenyum padaku. Ugh.

"Kata-kataku tidak cukup untuk membuat kalian sadar, sialan?!" tanyaku emosi.

"Sudah, penggal dia!" teriak Rose-sama menggema di penjuru ruangan. Dalam hati, aku berdoa semoga waktu ini cukup.

BOMM!!!

Jeruji besi meledak, pecah menjadi berkeping-keping dan berserakan di lantai. Sebagian, ada yang terkena kepingannya menciptakan luka-luka ringan.

Aku menatap mereka bertiga takjub.

"Bagaimana?" tanya Viorel menyombongkan diri.

"Kerja bagus, Minku! Ceramahmu sangat bermanfaat untuk penghianat sepertiku!" teriak Zane.

"Tidak mungkin. Tidak mungkin! Aku harus menangkap kalian!" teriak Rose-sama dan sihir yang mengikatku perlahan menghilang. Rose-sama tau, kematianku tidak akan membawa kemenangan bagi mereka.

Aku berlari ke arah teman-temanku. Kini kami saling memunggungi satu sama lain.

"Bagaimana keadaanmu Kazune? Yang kau lakukan tadi memerlukan banyak tenaga," ujar Viorel.

"Aku lelah. Tapi kurasa aku masih sanggup hanya untuk menghindar," jawab Kazune.

Serangan mulai bermunculan ke arah kami. Karna kami yang berkumpul ditengah ruangan, serangan yang dituju pada kami biarpun meleset, akan menjadi ancaman bagi yang lain mengingat kami saling memunggungi membentuk lingkaran kecil.

Tiba-tiba Viorel menciptakan tameng setengah bola untuk melindungi kami dari serangan untuk sementara.

"Kita harus berpencar. Jika serangan mereka meleset, itu akan menjadi ancaman bagi kita, jika formasi kita seperi ini. Setengah menit lagi tameng ini akan hancur."

Aku menelan ludah. Aku tidak memiliki senjata apapun. Dua bilah pisau untuk menghadapi ratusan orang penyihir? Itu bunuh diri namanya.

Tameng menghilang, kami berpencar. Yang kulakukan hanya menghindar, menghindar, menghindar. Ingin sekali rasanya aku mengambil kapak yang semula digunakan untuk memenggal leherku, kini kugunakan untuk menebas mereka satu persatu.

Tetapi itu mustahil. Pertama, jaraknya jauh dariku. Kedua, itu terlalu besar untuk kuangkat. Ingat? Aku bukan penyihir yang dapat melakukan segalanya dengan sebaris mantra.

Di tengah pertarungan yang rasanya tidak seimbang ini, tiba-tiba pintu aula terbuka dengan paksa menimbulkan suara dobrakan yang cukup keras untuk mengalihkan perhatian.

Di sana, ratusan penyihir Xylia bersiap untuk membantu kami. Senyumku mengembang saat menyadari Kiya adalah pemimpin di kelompok itu, dan Rosa-sama berada dibelakangnya.

"SERANGG!!!" teriak Kiya membuat para penyihir Xylia bergabung ke dalam pertempuran.

Kiya belari ke arahku. Mau tak mau aku tersenyum menyambutnya.

Kiya datang di waktu yang tepat untuk membantu.

Dugaanku salah besar. Kiya datang bukan untuk menyelamatkanku atau melindungiku. Dia menyerangku dengan sihirnya membuat orang di sekeliling kami mundur, lalu menyerang yang lain, seolah mempercayakan manusia biasa yang payah ini menjadi urusan Kiya.

"Kiya! Kau bercanda?! Aku Minku!" teriakku berusaha menyadarkan Kiya barangkali dia dikendalikan oleh Rose-sama.

"Aku tidak bodoh, sehingga aku tidak tau membedakan yang mana lawan dan yang mana lawan," ucap Kiya sinis.

"Kiya, kau bercanda! Kau suruhan Rose-sama?!" teriakku masih mencoba fokus menghindari serangan Kiya. "Kau ... Kenapa kau memberitahuku tentang ruangan rahasia itu, bukannya memberitahu Rose-sama?!" tanyaku. Perlahan air mataku keluar begitu saja. Aku masih menghindar dari serangan Kiya yang kurasa sengaja dia perlambat.

Dia bisa saja membunuhku dengan serangan pertama.

"Dengar, aku sengaja membiarkanmu bisa membuka ruangan itu. Aku mau tau rencana kalian! Aku juga sengaja memberitahu Fanyy dan Yuna bahwa kau dekat dengan Kazune. Dan usahaku tidak sia-sia. Aku akan menangkap Kazune. Sayang sekali kau mengacau di akhir, Minku! Ups, Kazuha."

"Kau bohong! Selama ini kau berpura-pura dan menjadi suruhan Rose-sama?!" teriakku dengan penuh kebencian.

"Kau salah! Bukan aku yang menjadi suruhan Rose-sama, tapi Rose-sama-lah suruhanku," jawab Kiya dengan kekehan.

"Dasar penghianat bajingan!" teriakku sambil menghindari serangan dan berusaha membunuh Kiya menggunakan pisauku yang tersisa dua, meskipun aku tahu, Kiya sedang mengalah padaku. Mana mungkin aku bisa mengalahkannya begitu saja.

Bola-bola sihir berterbangan di mana-mana. Siapapun orang yang mengenai bola sihir itu akan tergeletak di lantai sebagai mayat, serta diinjak-injak dengan ribuan kaki.

Aula ini cukup besar menjadi tempat pertarunagan antara Xylia dan Yenyz. Teman-temanku banyak yang berguguran membuatku ingin membalaskan dendam mereka. Tapi apa daya? Kau tentu masih ingat tidak ada yang istimewa dariku.

Aku melempar satu pisau berharap itu dapat melukai Kiya, namun dia jauh lebih gesit. Dia menghindar dengan mudah.

"Kenapa kau lakukan ini, Kiya?!" tanyaku membentak. "Dasar teman sampah!"

"Kau tidak tau apa yang kualami! Jadi, tutup mulutmu!" Emosi Kiya meledak. Dia melemparkan serangan yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini jauh lebih cepat membuatku yakin meskipun aku dengan keadaan fit tetap tidak dapat menghindarinya.

Aku tergeletak di lantai, sedari tadi tidak ada yang mengusik pertarunganku dengan Kiya membuatku yakin tidak akan ada yang membantuku kali ini.

Kiya menghampiriku lalu berjongkok di sebelahku. "Matilah kau!" bisiknya.

Aku mengangkat pisauku dengan sekuat tenaga bermaksud dapat membalaskan dendamku. Namun aku berhenti saat pisauku mengenai baju Kiya. Air mata terus berkeluaran dari mataku.

"Bunuh aku!" ucap Kiya tanpa nada penyesalan.

Aku menurunkan tanganku. "Kau temanku, penghianat sialan!" lirihku sebelum aku menutup mataku.

Badanku sakit seolah akan hancur berkeping-keping. Rasanya ribuan kali lebih sakit daripada saat Fanyy dan Yuna berusaha mematahkan semua tulangku.

Jika aku masih hidup, apa aku bisa memenggal kepalamu, temanku penghianat?

***Tbc***

A/n: I really happy for this story cause approaching finally some chapt again <33

Hug, rezyren

🦄

Pure Witch [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang