25**Prisoner*

2.3K 172 0
                                    

Aku terbangun. Yang pertama kali kulihat hanyalah jeruji besi. Aku memeriksa keadaan sekitar. Di sampingku tiga orang yang sedang tertidur.

Kami berempat dikurung di sebuah penjara yang lebih mirip kandang karna tidak ada tembok di sini. Kandang ini berada di tengah-tengah ruangan kosong.

Aku memandangi mereka bertiga yang terlihat seperti tertidur pulas. Aku enggan membangunkan mereka, karena aku tahu mereka benar-benar lelah.

Dalam hati, aku mengutuk Rose-sama atas perbuatannya. Dia melukai Rosa-sama agar mendapatkan jabatan di Xylia, untuk mencari ruangan rahasia dan tiga penyihir murni yang hanyalah mitos.

"Pasti mereka lebih lelah daripada aku yang hanya bergerak banyak," gumamku pelan.

Aku memperhatikan sekeliling di luar jeruji. Yang kulihat hanyalah tembok dan seorang anak laki-laki yang mendekat ke arahku.

Lelaki itu berambut acak-acakan, dia memiliki tatapan tajam setawarna dengan rambut hitamnya. Karna tingginya, sampai-sampai dia berjongkok untuk bertatapan wajah denganku.

"Bagaimana kabarmu?"

"Aku? Baik. Kenapa kau bertanya? Bukannya kau jahat?" tanyaku.

"Tidak semua Yenyz itu jahat. Kebanyakan kami hanya terpaksa atau dikendalikan. Lalu apa rencanamu, nona? Kalian akan diadili besok. Kau pasti tau betul tidak akan ada yang mendukung kalian terang-terangan nantinya," jelasnya.

"Jadi, aku harus bagaimana?"

"Kalian tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali kalau kalian bisa keluar dan menyerang ketua saat dipengadilan, sebelum kepala kalian dipenggal."

Aku menelan ludah membayangkan kepalaku akan dipenggal.

"T-terimakasih infonya," jawabku gugup.

"Dengar, kalau kalian berhasil mematahkan sihir jeruji ini, jangan kalian lakukan sekarang karna itu akan sia-sia. Lakukan besok, saat dihadapan semua orang. Itu hanya saranku sih, aku tidak memaksa." Dia mengidikkan bahunya.

Aku mengangguk. "Terima kasih sarannya."

"Satu lagi, jeruji ini memiliki sihir bersifat memantul. Jangan coba-coba jika tidak yakin bisa mematahkan sihir jeruji ini." Dia tersenyum padaku lalu bangkit berdiri.

"Tunggu!" panggilku sebelum dia berjalan lebih jauh. "Namamu siapa?" tanyaku. Oke, aku tau itu pertanyaan tidak penting ditanyakan saat keadaan seperti ini. Ada ribuan pertanyaan yang lebih berguna dari itu.

"Warren."

"Sekali lagi, terima kasih, Warren."

Dia tersenyum. "Semoga beruntung." Lalu dia menghilang di balik pintu.

Begitu Warren tak tampak lagi, aku langsung membangunkan Kazune, Viorel, dan Zane. Mereka masih terlihat lelah karna banyak mengeluarkan tenaga dalam.

"Kau baik-baik saja, Minku? Maaf. Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu. Aku malah mempersulitmu," ucap Zane sambil terisak.

"Dengar, Zane, kau tidak salah. Aku memang sedang kehabisan pisau."

"Kalau kau tidak melindungku, kau pasti bisa melindungi dirimu sendiri." Zane samakin terisak membuat Kazune dan Viorel menatapnya iba. "Untung kau hanya kena sihir tidur. Tapi karna ini juga ... misi kalian gagal." Zane menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia semakin menangis menjadi-jadi.

"Kami tidak sepenuhnya gagal. Kazune membuka portal untuk menyelamatkan Rosa-sama. Tujuan kami hanya itu." Viorel menenangkan. Aku mengakui kalau Viorel itu sebenarnya orang yang ramah dan mengerti perasaan orang lain. Tetapi, berbeda lagi denganku. Dia selalu bersikap menyebalkan terhadapku.

"Tapi tidak harus mengorbankan nyawa kalian," ucap Zane terbata-bata membuat Viorel dan Kazune menatapku bersamaan, meminta penjelasan barangkali aku tau. "Ini salahku!" Zane kembali menyalahkan dirinya sendiri.

Aku memeluk Zane. "Zane, kau mencoba membantu saja kami sudah sangat berterima kasih. Kita masih punya harapan. Kita memiliki dua penyihir tingkat empat yang berbakat."

"Jeruji ini memantulkan sihir! Itu mustahil! Besok kepala kita akan dipenggal!" isak Zane.

Aku tidak perlu repot-repot menolehkan kepalaku untuk melihat reaksi Kazune ataupun Viorel. Karna aku sudah dapat membayangkannya.

"Zane, percayalah pada Kazune dan Viorel. Mereka tidak akan mengecewakan, aku janji." Saat itu juga aku mendapat pelototan mengerikan dari Kazune dan Viorel bersamaan, karna aku tidak sengaja menoleh ke arah mereka. "Mereka keajaiban kita."

Aku menatap Kazune dan Viorel sambil tersenyum. Terima kasih sudah menjadi harapan kami.

*

"Musnahkan penghianat! Musnahkan penghianat!" Kalimat itulah yang berkali-kali diteriakkan penduduk Yenyz. Sampai sebuah suara tegas dan tajam membuat mereka bungkam.

"Mari ... beri tepuk tangan untuk penghianat terhormat kita!" seru suara itu yang kupastikan adalah Rose-sama.

Tepukan meriahpun menghiasi ruangan mengerikan itu.

Penjara kami (atau kandang lebih tepatnya) diletakkan di tengah-tengah aula yang dikelilingi orang-orang. Sementara itu, ada sebuah panggung yang tingginya lebih tinggi dari jeruji kami, membuatku tidak bisa melihat ke atas sana. Namun, aku yakin itu adalah tempat Rose-sama.

"Zane, penghianat kita yang telah mengabdikan dirinya padaku kini telah memihak para Xylia," ucapnya.

Rose-sama turun dari panggung lalu berjalan menghampiri kami terdengar dari langkah kakinya.

"Terima kasih, Zane. Kau membawa satu penyihir penting, satu penyihir berbakat, dan satu manusia biasa. Sekali lagi, berikan tepuk tangan yang meriah untuk Zane kita!" Rose sama menatap kami dengan wajah sok iba miliknya.

"Dasar keparat kau!" teriakku. Gak peduli deh aku mau dianggap bagaimana. Toh, perbuatan jahat didukung disini. "Dasar bedebah sialan!" teriakku emosi.

"Manusia biasa yang bahkan tidak bisa pulang ke dunianya melawanku?" Lalu dia tertawa. "Yang benar saja? Kepalamu akan kupajang di ruanganku sebagai kenang-kenangan."

"Jaga mulut kotormu itu, bajingan! Kau tidak tau siapa lawanmu!"

"Kau manis sekali. Sayangnya sebentar lagi kepalamu akan menjadi milikku," ujarnya sambil menyentuh jeruji dengan jari-jarinya yang lentik. "Dan hewan peliharaaku akan senang memakan badanmu."

Saat itu juga aku menoleh pada Viorel dan menemukan wajahnya yang menegang dan pucat.

"Dengar semuanya... Pemenggalan pertama tidak ditujukan pada Zane. Tetapi pada manusia biasa ini. Berikan tepuk tangan kalian!"

Sekali lagi suara tepuk tangan membuat suasana semakin mencengkam menurutku.

Bukannya aku ingin cepat mati dengan menantang Rose-sama, tapi aku hanya tidak tega melihat ketiga temanku mati di depan mataku jika rencana kami tidak berhasil. Alasan yang bodoh? Tentu saja.

Aku dikeluarkan oleh sihir. Tiba-tiba di depanku terdapat sebuah meja besar dengan kapak raksasa di atasnya.

Aku harus berhasil. Nyawa temanku tergantung padaku.

~~~

A/n:  I'm back. I hope you like this chapt<333

Salam manis, rezyren.

🦄

Pure Witch [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang