Left for Her

517 60 2
                                    

“Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Bukankah begitu yang dituliskan garis takdir?”

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Ck! Sial!"

Aku mengumpat pelan saat mengetahui baterai handphoneku sekarat disaat aku sedang larut dalam duniaku sendiri. Aku membanting handphoneku pelan diatas kasur, lalu segera bangkit. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamarku, dan mencari tempat yang cocok untuk tempat charge. Aku menggenggam kembali handphoneku lalu segera berdiri. Aku berjalan mengambil charge handphoneku, dan membiarkan baterainya terisi dengan sendirinya. Aku mengerucutkan bibirku, dan menatap diriku sendiri di cermin. Aku memutarkan bola mataku malas.
Well, lihatlah.

Aku benar benar kusut sekarang.
Aku segera mengambil sisir, dan menyisir kilat rambutku. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari keluar dari kamarku dan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.

Tumben sekali.

Suasana disini sedikit sepi.

Kenapa aku tak menyadarinya, ya?

"Wah...Zifeng? Kau baru bangun?" Yuan tiba tiba menegurku. Ia melihat kearahku, ditangannya tampak sebuah roti selai. Ia kelihatan sedang sarapan.

Qianxi juga ada disana. Qianxi tengah duduk disebuah meja makan, tangannya juga memegang sebuah roti.

Aku memandang Yuan terkejut, lalu kemudian tersenyum kikuk. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal sama sekali.

Bangun tidur?

Aku bahkan sudah bangun sejak pukul setengah tujuh pagi tadi.

"Hm... Ya? Kupikir begitu." jawabku canggung, aku tetap mengulas senyuman kikuk.

"Ayo sarapan." ajak Qianxi saat ia telah menyadari keberadaanku. Aku tersenyum tipis, dan kemudian mengangguk.

Aku berjalan kearah salah satu tempat duduk, dan mendudukkan diriku. Aku mengambil salah satu roti, dan mengoleskan selai blueberry diatas sana.

"Oh ya..." gumamku disela sela aku sedang memakan roti. Mulutku penuh. Setelah menggumamkan hal itu, aku memfokuskan diriku untuk menghabiskan roti yang kumakan. Aku menelannya cepat cepat.

"Junkai dimana?" tanya ku. Aku menatap mereka berdua heran secara bergantian. Aku mengernyitkan keningku.

Aku bahkan baru menyadari jika diruang makan ini hanya ada aku, Yuan, dan Qianxi. Tanpa Junkai.

Qianxi mengendikkan bahunya.

"Entahlah." ucap Qianxi pelan. Ia terdengar malas. "Dia bilang dia sedang tidak enak badan akhir akhir ini."

Aku semakin tidak mengerti. Aku menaikkan salah satu alisku.
"Tidak enak badan?"

"Katanya sih begitu." Yuan tiba tiba bergabung dengan percakapan. Ia hanya tersenyum miring dan melanjutkan memakan roti selainya.

Qianxi juga mengiyakan perkataan Yuan, lalu setelah itu tak mengatakan apa apa lagi. Ia sibuk memakan rotinya.

Aku terdiam, dan kemudian menghela nafasku. Aku melirik kearah kalender. Sudah tiga hari ibu berada di Fengdu—rumah nenek.

He Was in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang