Final: Left For Her (2)

702 80 74
                                    

“Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Bukankah begitu yang seharusnya?”

“Kalau begitu, aku benar benar membenci pertemuan kita selama ini.”

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Apel karamel sudah, permen kapas sudah. Apa lagi, ya?"

Aku menatap permen kapas yang masih tersisa di genggaman tanganku, dan kemudian tersenyum senang. Seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru kesukaannya oleh orang tuanya.

Junkai berdecak. Ia juga ikut memakan sedikit permen kapasnya.

Sedangkan permen kapasku, masih tetap utuh. Aku merasa tak rela jika harus menghabiskan permen semanis dan secantik ini.

"Kau tak pernah kenyang? Gigimu bisa sakit nanti, Zifeng." ucap Junkai. Ia melirik kearahku dan memandangku malas. "Kau sudah memakan apel karamel, permen kapas, gelato... Siap siap saja besok kau akan pergi ke dokter gigi." tegas Junkai dingin. Tentu saja, nada bicaranya tetap saja terdengar malas.

Aku mengendikkan bahuku, bersikap tidak peduli dengan ceramahnya barusan.

"Who's care jika aku bertemu dengan dokter mengerikan itu? Lebih baik aku menghabiskan permen ini..." ucapku tetap senang. Aku menatap permen kapas ini dengan pandangan berbinar binar dan kemudian memakannya. "Um! Ini manis sekali!"

Junkai menatapku aneh, dahinya mengernyit.

"Kupikir, kau bukan harus ke dokter gigi. Kau harus ke dokter kejiwaan, Feng. Kau lebih cocok kesana," ucap Junkai dengan rasa tidak bersalah. Aku menghentikan aksi makanku dan kemudian menatap Junkai tajam. Aku berkacak pinggang.

"Kau pikir aku gila?" desisku kesal. Junkai hanya tertawa dan kemudian kembali mengancak acakkan rambutku gemas.

"Tidak. Aku hanya bercanda, sayang." ucap Junkai, ia lalu mengerlingkan matanya genit. Kini, beralih aku yang menatap nya aneh dan ngeri. Aku kembali mulai menjaga jarak dengan Junkai.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya ku penasaran. Aku mengedarkan pandanganku kesekeliling fun fair. Fun fair ini mulai ramai dikunjungi.

Junkai kembali terdiam, ia tak menggubris perkataanku barusan. Ia terbatuk pelan  setelah itu.

"Aku...ingin berbicara serius kepadamu..." ucap Junkai pelan, ia sedikit menundukkan kepalanya—tak berani menatapku.

Aku mengernyit, dan memandangnya heran.

"Berbicara serius?"

Junkai menganggukkan kepalanya pelan.

"Ah...bagaimana kalau kita naik biang lala?" ajak Junkai sambil melirik kearahku. Ia tersenyum lebar lalu mendongakkan kepalanya, menatap bianglala yang masih tetap berputar.

Aku juga ikut melihat apa yang dilihat Junkai. Aku tersenyum tipis, sedikit berbinar binar.

"Ide bagus! Tumben!" ucapku bersemangat. Aku segera menarik tangan Junkai secara tiba tiba ke loket tiket bianglala.

He Was in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang