Karena sendiri itu menyakitkan, dan aku tanpamu itu bukan siapa-siapa.
-Ambarawa Putra Dewa-
//
Malam penuh bintang ini begitu menakjubkan. Kalau bukan karena Bara yang diam-diam mengajakku pergi, aku tidak akan pernah melihat bintang seperti ini seumur hidupku. Aku menatap Bara, dia sedang membelikanku nasi goreng yang sempat lewat di sini, meski tak memiliki uang yang cukup, Bara masih memaksa ingin mentraktirku makan. Ya, meski hanya seporsi nasi goreng.
"Hei, kenapa kau menatapku seperti itu?"
Tiba-tiba Bara sudah berada di depanku saja. Dia memberikan seporsi nasi goreng kepadaku, dengan senyuman hangat. Membuatku tanpa sadar ikut tersenyum melihatnya.
"Tuh, kan, kau menatapku lagi."
"Hehe," aku tertawa gemas. "Sepertinya aku beruntung memilikimu ya?"
Bara bingung terheran. "Kenapa memang?"
"Jarang ada laki-laki yang sempurna sepertimu."
Refleks aku mengatakannya. Bara terkekeh kecil sebelum mengusap kepalaku pelan. Ah, sial, kenapa aku jadi malu sendiri?
Tidak membalas perkataanku, dia kembali menikmati angin malam. Aku tidak mengatakan apapun lagi, memilih asik memakan nasi goreng yang Bara belikan. Beberapa kali aku menyuruhnya ikut makan bersama, meski berapa kali juga ia menolak, dengan sehalus mungkin.
Setelah menyelesaikan makanku, Bara mengantarkan kembali piring milik tukang nasi goreng sekaligus membayarkannya. Aku selalu menolak jika dibelikan olehnya, karena menurutku, aku masih mempunyai uang untuk membelinya sendiri. Tapi tidak menurutnya. Bara bilang, jika seorang laki-laki berani mengajak perempuan untuk berhubungan---atau lebih tepatnya pacaran---dia harus mengorbankan apapun untuk perempuan tersebut.
Aku yang tidak mengerti arah pikiran Bara, hanya diam, karena apapun itu, dia pasti memiliki alasan tersendiri untuk melakukannya.
Dan, aku... Hanya menuruti perkataannya.
"Hari ini kau banyak diam, apa ada masalah?"
Lihat, dia begitu sempurna hingga tak pernah terpikirkan untuk mencari yang lain.
"Tidak ada apa-apa," jawabku senang.
"Hari ini juga kau sering sekali menatapku, ada apa?"
Aku diam. Benar juga, hari ini sudah beberapa kali dia memergokiku karena terus menatap ke arahnya. Memang aneh, tapi apa alasanku melakukannya?
"Tidak apa-apa, aku juga tidak tahu kenapa aku melakukannya."
Bara memperhatikanku. "Ayo pulang, sudah hampir larut."
Dia berdiri, membuatku mau tak mau mengikuti langkahnya pergi. "Kalau boleh jujur, aku masih mau bersamamu, Bara."
"Sayangnya tidak bisa," dia terkekeh. "Tapi kau bisa bersamaku lagi besok."
Senyumnya mengembang. Aku ikut tertawa bersamanya, kemudian aku mempercapat langkah, menyamai jalannya. Mataku terpaku kepada jalan yang kami tapaki saat ini.
"Aku tidak suka malam hari, bukan tidak suka, mungkin lebih tepatnya aku membencinya."
Bara meraih tanganku, menggandengnya. "Kenapa? Bukankah malam ini indah?"
"Ya, memang indah. Tapi, hanya malam ini, ketika aku bisa bersamamu."
"Kau membenci malam karena tak bisa bersamaku?" Bara bertanya, dia menghentikan langkah sehingga aku ikut terhenti. "Berarti aku tidak boleh lagi bersamamu."
"Hah? Kenapa?" Aku terbelak kaget.
"Karena kau membenci ciptaan-Nya. Malam ini dan aku tidak ada bedanya, jika kau membencinya berarti membenciku juga."
Ini adalah satu dari alasan mengapa aku mencintainya, mendambanya. Karena jarang ada orang seperti Bara, yang bisa memikirkan dua hal di dalam satu waktu yang sama.
Aku tidak tahu mengapa dia memilihku, dan mengapa dia bisa jatuh cinta denganku. Yang penting adalah... aku bangga memiliki Bara dalam hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scared To Be Lonely
Short StoryScared To Be Lonely (COMPLETED) |《• Spin-off of Dans La Soirèe // Dari semua yang Ia miliki, tetap terlihatlah semua kosong: tak terisi, hampa, kekurangan. Untuk itu Ia tetap berjalan, berlari, mencari semua kekosongannya tersebut. Hingga saatnya Ia...