TUJUH

75 5 0
                                    

Karena dia kau pergi? Apa kau tidak mencintaiku lagi?

-Ambarawa Putra Dewa-

//

"Tidak." Aku menggeleng tidak menerima ucapan seseorang di sebrang telpon. "Aku tahu ini akan terjadi, tapi, tidak, aku tidak bisa melakukannya."

Di hari yang masih pagi ini, aku mendapatkan sebuah pesan masuk, dari seseorang yang tidak kuinginkan untuk menghubungiku. Setelah pelajaran usai, aku pergi ke taman belakang, menjawab panggilan dari pesan tersebut.

Tepat sebelumnya, aku mengabari kekasihku agar tidak menungguku, kami bisa makan siang bersama nanti. Ya, itu menurutku, aku tidak tahu jika nanti dia akan memarahiku.

Maaf, Sayang, panggilan ini lebih penting bagiku.

"Kau bisa menggunakan yang lain, bukan aku."

"..."

Aku berjalan risau, berulang kali menjambak rambut akibat perbincangan tak masuk akal ini. "Hei, kau anggap aku ini apa?"

"..."

"Ya, ya, ya. Harusnya aku tahu jelas kau menganggapku apa."

"..."

"Sial, apa kau tidak bisa mengerti posisiku? Aku memiliki kekasih, dan aku mencintainya! Dia harapanku hidup ketika di sia-siakan olehmu!"

"..."

"Terserah kau saja," kataku mulai tak peduli. "Sampai bertemu di neraka."

Tutt... tutt... tutt.

Kutempelkan jidatku pada dinding, sedikit memukulinya akibat perlakuan bodohku. Mataku tertoreh kembali pada ponsel, yang menampakan fotoku dan kekasihku pada saat kencan lalu.

Ah, bagaimana jika dia tahu? Tidak mungkin. Tapi, bisa saja kan dia diberi tahu oleh salah satu dari mereka?

Tanpa kusadari, ada seseorang yang memperhatikanku sedari tadi. Seorang siswa yang memiliki luka jait di mata kirinya, sedang meminum sekaleng soda duduk di bangku taman.

Meskipun aku tahu siapa dia, dan apa tujuannya datang ke tempat ini sama sepertiku, aku tetap berpura-pura tidak tahu jika mengetahui keberadaannya.

Dia... teman baikku, atau bisa di bilang teman pertamaku. Oh ayolah, mau sedikit bernostalgia bersama? Well, aku ingin sekali memberikan informasi tentangnya, hanya saja, itu tidak terlalu penting.

"Hei, Bara. Kau tahu apa masalahmu?"

Tak perlu kau ingatkan, aku juga tahu apa masalah yang menjeratku kali ini. Lantas aku berbalik, menoleh ke arahnya, hingga seperti sedang berhadapan.

"Naif."

"Permisi? Bisa kau ulangi ucapanmu? Maaf, tapi telingaku tak sampai mendengarnya."

"Oh, ayolah, aku tau indra pendengaranmu belum rusak."

Dia bangkit, melangkah mendekatiku dan membuang kaleng sodanya. Refleks tubuhku maju, ikut mendekatinya.

"Tapi, jujur saja, Bara. Kau benar-benar naif," ucapnya dan berhenti di hadapanku.

"Apa yang sebenarnya kau maksud?"

"Kau tidak tahu terima kasih," tuturnya dengan berbisik. "Benar, aku juga sama tidak setujunya denganmu atas permintaannya. Hanya saja, alasanmu menolak itu sangat naif, ya... itu menurutku."

"Hei, sepertinya belum lama ini aku pernah mendengar perkataan: aku akan melakukan apapun demi Risa. Betul?"

Orang itu mendengus, tersenyum kecil sebelum berlalu dan menubruk bahuku kencang. Seolah-olah pernyataanku tadi menyadarkannya dengan apa yang terjadi sekarang.

Aku mengikuti langkahnya, keluar dari area taman belakang, menuju kantin untuk membeli cemilan karena pembicaraan tadi membuatku lapar. Sebelum itu aku berniat menghampiri kelas Putri, aku tahu dia pasti marah karena menunda makan dengannya tadi, jadi aku akan merayunya sedikit.

Tapi ketika aku sampai di sana, Putri tidak ada disana. Ada, tapi tidak ada. Aku bingung harus menjelaskannya bagaimana, namun ketika aku memperjelas penglihatanku. Ya, dia benar tidak ada di sana.

Karena yang kulihat di sana adalah Ardan sedang mencium seorang perempuan, aku yakin sekali bahwa yang laki-laki itu cium adalah kekasihku, tapi, itu pasti bukan dirinya. Mengapa aku sangat yakin? Tentu saja, karena Putri mencintaiku.

Scared To Be LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang