ENAM

70 4 0
                                    

Karena aku memilihmu, apa itu salah?

-Ambarawa Putra Dewa-

//


"Hei, kamu habis dari mana?"

Aku melihat Bara yang sedang duduk di kursiku. Di hadapannya ada sebuah tempat bekal yang dia kasih tadi pagi, padahal tadi aku sudah menyembunyikannya di dalam tumpukkan buku. Tapi, bukan itu sekarang masalahnya.

"Kantin."

Jawabanku sudah menjelaskan bahwa aku tidak akan ikut makan dengannya, tapi tidak membuat dia bangkit dari tempatnya.

"Kau sudah makan? Ya, pastilah, roti ini tidak memenuhi perutmu."

"Bisa kau pergi dari kursiku?"

Bara melihat ke tempat yang ia duduki, kemudian bergeser ke kursi sebelahku. Aku mendudukan diriku disana, tak menghiraukan Bara sama sekali.

Tak lama kemudian tempat bekal itu dibukanya, Bara meraih satu roti di sana, kemudian memasukannya ke dalam mulut. Aku masih terdiam, tak menatap ke arahnya.

"Hari ini Bhumi bertingkah aneh."

"Kenapa?"

"Entahlah, aneh saja, dia tidak seperti biasanya."

Aku mengangguk. Meski begitu aku tetap menjawab ucapannya, kalau tidak bisa-bisa Bara jadi orang gila karena berbicara sendiri.

"Ardan hari ini juga menjaga jarak denganku," ucapnya kemudian memakan roti lagi. "Mungkin Bobby yang menyuruhnya, padahal aku tidak memusingkannya sama sekali."

"Dia memang harus menjauh darimu," sahutku.

"Kenapa? Dia kan temanku."

"Teman? Cih, setelah perkataanya, kau masih menganggapnya teman?"

Bara terdiam untuk beberapa saat, kemudian mengusap rambutku perlahan. Tak lupa kembali memakan rotinya.

"Oh, jadi kau mendiamiku karena masalah kemarin? I see."

"Ti-tidak!" Aku membantah. Jelaslah, aku malu, masa karena masalah kemarin berlarut-larut begini membuatku marah? Ya, memang sih perkataannya kemarin keterlaluan.

Dia tersenyum.

Oh, Tuhan! Tolong cabut nyawaku sekarang juga!!!

"Ehem!"

Sebuah suara mengintrupsi perbincangan kami, yang membuatku---dan juga Bara, refleks menoleh.

Dan saat kami menoleh, mata kami melihat teman-teman Bara, dan juga teman-teman yang ku ajak pergi ke kantin ada di sana. Tepat di pintu kelas, sedang memperhatikanku dan juga Bara.

Meski diam-diam menatap ke arahku, aku tetap tahu jika Ardan dan Panji juga ikut datang kemari. Peduli setan, aku tidak akan mau bertemu dengan mereka lagi.

"Lah? Kok diam? Lanjutin dong."

Bara tertawa, kemudian menggerakan tangannya mengusir mereka.

"Hush, hush. Anak kecil jangan liat orang pacaran."

"Eh, Dede Bara, berduaan aja, nanti aku bilangin Tante Aya nih."

"Hahaha."

Mereka terbahak, kemudian berlalu pergi meninggalkan kelas. Meninggalkan kami berdua.

"Jadi mereka dari tadi ngeliatin kita?"

"Iya," Bara mengangguk. "Mereka datang saat kamu datang."

Aku bingung. "Kok aku tidak sadar diikutin ya?"

"Bagaimana bisa sadar? Kamu mikirin aku mulu, sih."

Lantas aku menepuk bahu Bara gemas, terkekeh pelan atas rayuan recehnya. Dia juga tertawa, dengan senang dan bahagianya.

Dan permasalahan di antara kami menghilang begitu saja, tanpa harus berdebat atau merundingkannya. Awalnya kupikir ini akan membuat hubunganku dengannya berbeda, tapi lihatlah, perbedaan ini membuat hidup hubungan kami.

Perkataan yang ia ucapkan lampau lalu memang membuatku sakit hati, tapi, jika aku tidak memikirkannya dan melupakannya, semua tidak akan menjadi masalah. Karena aku tahu, Bara pasti akan selalu di sisiku untuk selamanya.

Peduli setang dengan perkataan Ardan, aku sangat mencintai Bara.

"Besok mau aku buatkan bekal?" Tanyaku padanya, dia membersihkan mulutnya dengan punggung tangan. "Tapi, ingat, jangan lupa lagi."

Dan dia meringis pelan.

Scared To Be LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang