LIMA

68 6 8
                                    

Karena cintamulah aku tetap bertahan.

-Ambarawa Putra Dewa-


//


Wajahku yang lesu menemani pagi hari ini. Dengan malasnya aku melangkah memasuki kelas, teman-temanku yang biasanya mendapatkan kegaduhan tiap pagi olehku bingung, padahal aku biasanya selalu bersemangat.

Aku juga tidak tahu apa yang terjadi denganku. Tidurku tidak nyenyak, nafsu makanku bahkan tidak ada sama sekali, dan kantung mataku yang membesar. Seperti pemeran psikopat dalam serial pembunuh yang Ibuku tonton.

"Tumben, apa yang terjadi denganmu?" Salah satu temanku bertanya, mewakili yang lain.

Kududukan diriku, lalu menempatkan wajahku di atas meja, malas.

"Entahlah," sahutku lesu. "Apa ada pr?"

"Tidak, tidak ada."

"Baguslah."

Aku membalikkan wajahku, menatap ke arah jendela yang tertutup tirai. Mataku perlahan menutup, berusaha mencari kenyamanan untuk tidur sebelum bel berdering.

Namun kemudian ada yang menepuk pucuk kepalaku. Siapapun dia, tak bisakah membiarkanku istirahat sebentar saja?

Enggan untuk bangun dan melihat siapa dalang yang melakukannya, aku lebih memilih mengusir tangan yang berada di kepalaku. Kemudian kembali menutup mata, tertidur.

Tapi sayangnya orang itu tidak membiarkannya, dia kembali menepuk kepalaku, sekaligus memberikan usapan yang membuat rambutku teracak.

"Ah, siapa sih?! Nyari ribut---Bara?"

Dia, Bara, terkejut dengan menampakkan wajah iseng.

"Iya nih, aku nyari ribut. Kamu, sih, pagi-pagi udah tidur aja."

Begitu melihat wajahnya, aku tercengang, tanpa mengatakan apa-apa lagi aku melepaskan tangannya. Berpura-pura tidak mengenal, bahkan untuk menghiraukannya.

Aku tidak suka. Perkataanya lampau lalu masih memenuhi pikiranku, dan aku marah.

"Hei, aku datang pagi-pagi, loh, jemput kamu. Eh, kamunya udah berangkat duluan."

Kubungkam mulutku. Aku kembali meletakan kepalaku di atas meja, menghadap berlawanan dari Bara yang mengajakku berbicara.

Dia tak tinggal diam. Namun tidak kembali menggangguku.

Aku melihat dia meletakan satu kotak bekal dan sebotol minuman. Dia menaruhnya di depan wajahku, meski aku tidak menoleh padanya sama sekali.

"Maaf ya, aku tidak membuatkanmu bekal, hanya ada roti." Suaranya begitu dalam, tenang, tanpa ada emosi sama sekali. "Nanti istirahat makan bareng ya, tunggu aku di kelasmu."

Sebelum pergi, dia kembali mengusap rambutku pelan. Kemudian berlalu meninggalkan kelas, aku tahu karena teman sekelasku menyahut karena Bara akan pergi.

Aku bisa merasakan seluruh tatap beralih kepadaku. Dari dua tahun menjalin hubungan dengan Bara, baru kali ini kami bertengkar.


//



"Putri, kenapa kau pergi ke kantin? Bukannya Bara tadi bilang mau makan bareng?"

Malas meladeni pertanyaan itu, aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.

Setelah bel istirahat berdering, aku segera pergi dan menarik tangan teman-temanku untuk menuju kantin. Pergi sebelum Bara beranjak ke kelasku.

Alhasil makan bareng dengan Bara gagal, dan itu tidak masalah, karena aku tidak memedulikannya.

"Gila, Putri, terus Bara bagaimana? Kalau dia nunggu di kelas kita? Serius, Put, jahat banget."

"Terus kalian mau apa? Mau temenin dia makan? Silakan balik ke kelas!"

Aku berteriak. Memberitahu jika aku tidak mau lagi membahas soal laki-laki itu, meski dalam hati aku sakit menolak ajakannya.

Mataku tertoreh pada meja Bobby dan teman-temannya, mata mereka semua mengarah padaku, dengan intens, tanpa berusaha untuk mengalihkannya pada hal lain.

Dan itu membuatku sadar. Bara! Dia tidak ada disana! Aku kemudian bangkit, berlari menuju kelas.

Bara menungguku!

Scared To Be LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang