Karena aku ingin kau bahagia. Jika tanpaku kau bisa, maka akan aku lakukan.
-Ambarawa Putra Dewa-//
Beberapa hari setelah mempertimbangkan ucapan orang itu, aku tidak bisa hidup dengan baik. Aku terus-menerus menjauhi Putri, tidak secara langsung, tapi itu cukup membuatku bisa merasakan kesendirian ini. Karena bisa di katakan, Putri adalah hidupku, dan aku tak bisa melakukan apa pun jika tidak bersamanya.
Masalah dengan Ardan juga tak kuhiraukan lagi. Apa pun itu, aku percaya dia sudah merencanakan dengan baik. Dia bukan orang bodoh yang bertindak semberono layaknya Bobby, itulah alasan mengapa Ardan dan Panji cocok satu sama lain.
Aku bukannya seorang pemaaf, hanya saja kemarahan bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Kalau bisa aku tidak ingin melakukannya, emosi bukan diriku, dan aku tidak ingin terlalu mengandalkannya.
Hari ini semestinya akan menjadi hari yang baik. Aku ingin pergi berkencan dengan Putri, jalan-jalan, menyegarkan pikiran sebelum akhirnya aku akan melewati permasalahan.
Aku berjalan di dalam koridor sepi, karena hari sudah beranjak sore dan matahari sudah akan tenggelam di ufuk sana. Beberapa orang yang sama sepertiku---melaksanakan ekstrakulikuler---atau yang lainnya, bersitatap sebelum akhirnya berpisah di gerbang sekolah.
"Hei!"
Tepat di depan gerbang aku bertemu Panji, dia sedang mendengarkan musik sembari menyenderkan tubuhnya ke tembok. Menyadari kehadiranku, lelaki itu menoleh dan memanggilku.
"Kau belum pulang?"
"Aku menunggumu," tuturnya dengan amat jelas.
Hah, aku? "Kenapa kau menungguku?"
"Ada hal yang harus kukatakan, kau tidak ada urusan setelah ini kan? Kita bisa mengobrol di rumahku."
"Rumah Ardan."
"Ya, maksudku, rumah Ardan."
Kalian harus tahu satu hal. Pasangan gay ini sudah pergi untuk tinggal bersama, mereka mempunyai rumah sedikit jauh dari sekolah. Tidak ada yang tahu persis letaknya dimana, bahkan aku saja lupa-lupa ingat.
Ingin rasanya aku seperti mereka. Tidak ada halangan yang menjalani hubungan mereka, bebas sebebas-bebasnya, dan bahagia dengan jalan yang di pilihnya.
Aku harus berpikir jutaan kali untuk melakui tindakan seperti Ardan, mereka bebas karena Panji seorang diri. Bagaimana dengan Putri? Kekasihku itu mempunyai keluarga yang lengkap, dan aku tidak bisa seenaknya mengatur.
Jarak rumah mereka ternyata tidak sejauh yang aku bayangkan. Sedikit jauh, tapi tak kala jika berjalan kaki. Kami bahkan lebih banyak diam, lelaki di sampingku tak mengatakan apa pun selain merokok dengan santai.
"Kau harus pergi, Bara."
Perkataannya membuatku menoleh, dan itu sangat mengejutkan menurutku, namun tidak begitu serius. Aku tahu, tak membutuhkan waktu lama untuk menyembunyikan semua hal dari Panji.
Ardan pasti sudah tahu semuanya. Sial, aku berhutang budi terlalu banyak padanya.
"Aku tidak akan pergi."
"Bara, kumohon, mengertilah."
Aku menggeleng. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan melarikan dari masalah ini. Kalaupun nanti hanya kebohongan belaka, aku tetap akan menghadang.
Sudah cukup seumur hidupnya di kurung dan di perlakukan layaknya binatang liar. Biarkanlah Bhumi yang tidak peduli, aku tidak akan pernah melepaskan kesempatan ini.
Karena kebebasan sudah di depan mata.
"Kau tahu jelas apa akibatnya," sahut Ardan yang muncul di belakangku. Sekarang aku sedang duduk di ruang tamu, dan Panji yang pergi menyiapkan minum.
Gelengan selalu kutunjukkan. "Tidak, Ardan. Aku tidak akan lari."
"Lalu bagaimana dengan Putri? Dengan enaknya kau beri dia begitu banyak harapan, yang nyatanya kau patahkan juga?"
"Jangan memengaruhiku, aku tidak akan mengubah keputusanku."
"Mati juga bukan jalan keluarnya, Bara. Omong kosong! Yang mereka kejar itu Panji, bukan kau!"
Seketika semua terdiam, Ardan dan Panji yang menghalangiku, dan Aku yang berpegang teguh dengan keinginanku untuk bebas.
Ardan benar jika mati bukan jalan keluarnya, hanya saja aku tidak punya pilihan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scared To Be Lonely
Short StoryScared To Be Lonely (COMPLETED) |《• Spin-off of Dans La Soirèe // Dari semua yang Ia miliki, tetap terlihatlah semua kosong: tak terisi, hampa, kekurangan. Untuk itu Ia tetap berjalan, berlari, mencari semua kekosongannya tersebut. Hingga saatnya Ia...