Karena sudah dimulai, aku jadi tidak sanggup bila harus melepasmu.
-Ambarawa Putra Dewa-
//
"Maaf..."
Aku tidak bisa mengatakan apapun selain perkataan maaf. Lagi pula ini bukan salahku, kenapa pula Ardan tiba-tiba menahanku pergi? Artinya ini semua salah dia, bukan aku.
Tapi, Bara tidak mungkin percaya. Karena, dia tahu bagaimana Ardan, dan mungkin Ia mengira jika aku tidak melakukan hal aneh, laki-laki itu tidak menahanku. Lalu, maksudnya, aku yang salah?
Ini sudah lewat sore. Bara dan yang lainnya menahanku untuk pulang, bukan hanya aku, Ardan sebagai pelaku juga ikut. Termasuk Panji, yang bahkan tidak ada sangkut pautnya pun.
"Aku tidak membutuhkan maafmu."
Panji tiba-tiba menyahut, dengan seragam berantakan dan menyulut api rokok, aku ingin sekali menendangnya ke selokan.
"Siapa pula yang meminta maaf padamu? Ge'er."
"Apa kau bi---"
"Cukup," Bobby memotong, dia maju selangkah hingga berhadapan dengan Ardan. "Kau cukup jelaskan apa yang terjadi, dan selesai."
Sebagian juga memang salahku, tapi bukan berarti Bara benar-benar harus mendiamiku seperti ini. Apa-apaan ini, bukankah dia duluan yang pergi ke kantin, jadi bukan salahkulah jika mengajak Ardan makan.
Hanya saja, mengajak Ardan makan adalah hal yang salah. Dan aku sangat menyesal akan hal itu. Kalaupun nanti hanya aku yang memiliki makanan di dunia ini, aku tidak akan pernah memberikan secuilpun makananku padanya.
"Bara..."
Laki-laki itu menoleh ketika Ardan memanggilnya.
"Putri tidak akan pernah bahagia denganmu."
Plak! Sudah cukup. Aku benar-benar gila sekarang. Bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti itu lagi, bahkan di hadapan Bara sekalipun. Dia benar-benar tidak waras lagi, sebenarnya apa yang dia maksud itu?!
Tidak hanya aku, semua orang yang ada disini pun terkejut dengan perkataan yang baru saja dia lontarkan. Dari ciri-cirinya, Bobby ingin sekali menghajar Ardan, tapi terhalang oleh Panji yang menusuk dengan tajam.
Bara tetap tenang seperti sedia kala. Senyumnya sedikit merekah, kemudian terkekeh pelan sebelum menatap dalam ke arahku.
"Apa maksudmu kau bisa membahagiakannya?"
"Bara, aku---"
"Apa maksudmu kau hanya kasihan padanya?"
"Bara..."
"Dengar, Ardan. Jika benar hidupku hanya sebentar, dan membuatku harus meninggalkannya. Maka lakukanlah, bahagiakanlah dia, hingga tidak ada air mata lagi karena menangisi kepergiaanku."
Bara menghampiriku, meminta izin untuk mengantarkanku pulang yang pasti akan selalu aku izinkan. Kami meninggalkan mereka semua, tanpa tahu apa hal apa yang akan terjadi lagi nanti.
Aku tidak mengharapkan ucapan Bara akan di kabulkan, karena aku ingin hidup dengan Bara. Silakan kalian mengolok-olokku yang menduduki kelas tiga SMA, dan memikirkan masa depan bahagia dengan kekasih, tapi, toh, tidak masalah. Aku percaya jika aku bisa bahagia dengannya.
Tak memerlukan waktu lama, kami sampai di rumahku. Genggamannya Ia lepaskan, dia tidak mau jika harus berurusan dengan orangtuaku dan tidak bisa melihatku lagi. Perasaanku berkecamuk, memikirkan maksud perkataannya dan juga Ardan.
"Aku tidak mau kau mengatakan hal seperti tadi."
"Kenapa?" Bara tersenyum hangat menatap ke arahku. "Aku hanya bersiap-siap, jika memang itu kenyataannya."
"JANGAN PERNAH MENGATAKANNYA LAGI!"
"..."
Untuk beberapa saat kami saling terdiam. Aku tahu, dia sangat memikirkan perasaanku, namun dengan ucapannya tadi, dia benar-benar mematahkan harapanku untuk bisa selalu bersamanya.
Kalau memang dia akan meninggalkanku, untuk apa dia melakukan semua hal ini? Apa dia hanya ingin bermain, dan mengapa harus denganku?
Terlebih lagi... Apa dia benar mencintaiku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Scared To Be Lonely
Short StoryScared To Be Lonely (COMPLETED) |《• Spin-off of Dans La Soirèe // Dari semua yang Ia miliki, tetap terlihatlah semua kosong: tak terisi, hampa, kekurangan. Untuk itu Ia tetap berjalan, berlari, mencari semua kekosongannya tersebut. Hingga saatnya Ia...