TIGA

91 7 2
                                    

Karena, jika kau benar pergi, berarti keberadaanku sudah tak berguna lagi.

-Ambarawa Putra Dewa-


//

Ardan begitu asik memakan bekalku. Dia terbawa suasana makan, hingga lupa dengan keadaan sekitar yang memperhatikannya melahap makanan yang tersaji. Bingung harus berkomentar apa, aku membiarkan saja dia sibuk asik makan. Lagipula, aku tidak rela untuk mengganggunya.

Ketika mengetahui Bara pergi ke kantin, aku tidak mempunyai selera makan lagi.

"Kau tidak ikut makan?" Ardan bertanya dengan mulut penuh makanan.

Lantas aku menggeleng. "Tidak, aku sudah kenyang."

"Aku tahu kau belum makan sama sekali."

Dia berkata bergitu tanpa berhenti mengunyah makannya, dan meskipun begitu, Ardan sama sekali tidak memberiku makan atau sekedar memaksaku makan. Hah, laki-laki itu benar tahu kepribadianku luar dalam (bahkan menurutku, dia lebih tahu di banding aku).

"Makanan buatanmu hampir sebanding dengan Panji, ya, lebih enakan Panji sih."

"Tidak ada yang bisa mengalahkan masakannya," aku membereskan tempat bekal. "Lagipula aku iseng saja membuatnya."

"Bara pasti sangat menyukainya, karena ini makanan kesukaannya, bukan aku. Kalau kau ingin membuatkanku bekal, tanyai Panji, dia tahu semua kesukaanku."

"Yang pasti kau tidak suka makanan basi, kadaluarsa, dan beracun, ya kan?"

Dia tertawa mendengar perkataanku. "Semua orang juga seperti itu, Putri."

"Tapi Bara tidak."

"Karena itu masakanmu. Hanya dia seorang yang mau memakan makanan basi, kadaluarsa, dan beracun buatanmu itu."

Ya, benar. Jika dibayangkan kalau aku benar-benar membuatnya, tanpa disuruhpun lagi, pasti Bara akan memakannya tanpa bertanya-tanya lagi. Seperti yang Ardan katakan, entah bodoh atau apa, entah terlalu pintar atau apa, Bara akan bertekuk lutut jika itu diriku.

Semua murid di sekolah ini jelas tahu keanehan Bara. Jangankan murid, bahkan guru ataupun wali dari mereka tahu, karena Bara orang yang terkenal. Awal aku mengenalnya juga berpemikiran begitu, dan sekarang? Justru aku yang mengejar-ngejarnya.

Tempat bekal sudah kurapihkan dengan bersih, Ardan mengelap sisi-sisi bibirnya menghapus sisa sembari mengusap perutnya, kenyang. Mereka yang memperhatikan kami tadi, mulai berlalu pergi. Sepertinya mereka puas dengan melihat Ardan makan.

"Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu dengan Panji?"

Laki-laki itu menoleh kepadaku, menatap dengan heran sebelum duduk rapih dan menjawab.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu, bagaimana hubunganmu dengan Bara?"

"Loh? Hubunganku dengannya biasa saja, apa yang kau ingin pertanyakan coba?" Aku terkekeh pelan. Lucu saja, pertanyaan Ardan tidak perlu jawaban sama sekali.

Dia menggeleng, "kau tidak bisa membohongiku, Putri. Kosong, kau begitu hampa padahal sudah memilih kebahagiaan dengan Bara."

"Apa maksud dari perkataanmu itu?!"

"Tenang, aku tidak bermaksud menyulut emosimu."

Gila. Sungguh, dia benar-benar gila. Apa dia bermaksud jika aku tidak bahagia bersama dengan Bara? Cukup, dia sudah kelewatan karena merendahkan kekasihku seperti ini.

"Oke, maafkan aku." Dia menunjukkan dua jari tanda damai. "Tapi jujur, Putri, kau benar-benar seperti kekurangan."

"Memang jika aku kekurangan, apa masalahmu?!"

"Aku tahu kau tidak bahagia dengannya."

"Kita memang teman, Ardan, tapi kalau kau menghina lebih dalam lagi. Aku tidak berniat untuk memaafkanmu."

Aku menggebrak meja. Ingin rasanya aku menampar wajahnya yang sudah berkata seenaknnya, memukulnya tanpa ampun. Dengan menahan amarah, aku bersiap pergi dari kelas ini. Menyesal? Ya, dengan amat sangat aku menyesal menemuinya hari ini.

Namun, sebelum kakiku benar-benar melangkah untuk pergi. Sebuah tangan menahan lajuku, Ardan menghentikanku.

Dan seketika sebuah suara membuat kami bungkam tak berkutik.

"Bisakah kau melepaskan tanganmu dari kekasihku, Ardan?"

Scared To Be LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang