Di Pulau Nusa Angin

245 9 0
                                    

Saat membuka mata, siuman dari pingsannya, Dewaya tak dapat melihat apapun. Pemandangan yang ada di sekitarnya hanyalah gelap semata.
Itu karena Dewaya ditawan sendirian, jauh terpisah dari teman-temannya. Dia di tawan di sebuah goa yang ada pada dasar ceruk, licin serta dipenuhi batu-batu padas, jauh dari jangkauan sinar matahari sehingga segalanya nampak gelap, pekat, tanpa senyala api.
Selain itu tubuhnya terikat oleh tali-temali yang terbuat dari batang rosela serta serat-serat rotan yang kokoh, sedang kedua tangan dan kakinya diikat menggunakan rantai-rantai kapal yang besar, yang menempel pada dinding goa. Hal itu membuat Dewaya bingung, "Hemmm... Dimanakah aku sekarang.... Mengapa suasananya begitu gelap....?" gumam hati Dewaya sesaat setelah matanya terbuka.
Sepanjang pengamatannya yang ada hanya kegelapan yang panjang.
Lama sekali kepala Dewaya berputar-putar, matanya menelisik ke segala penjuru sampai kemudian ia lelah sendiri, "Hmm sudah berapa hari aku berada di tempat terkutuk ini?" gumamnya kembali, sambil tak putus asa matanya berputar berharap menemukan sesumber cahaya.

Dalam keadaan yang begitu - itu kemudian - hanya bisa mulutnya mendengus menyemburkan nafas putus asa, hanya bisa berpasrah yang bisa ia lakukan, menjalani segala keadaan, sambil berharap datang satu keajaiban untuk bisa keluar dari tempat itu, sebab rantai-rantai baja; serta jeratan tali-temali tersebut sangat kuat, tak mungkin baginya untuk memutuskannya.

Siang dan malam di tempat itu tidak ada bedanya semuanya terlalu gelap, pekat, tak tahu apakah sehari, dua hari, atau entah berhari hari dirinya berada di tempat itu, tak tahu, sampai kemudian dari kejauhan Dewaya melihat, ada senyala obor yang menyeruak masuk seperti hendak menyambanginya.
Dibalik obor tersebut nampak ada dua sosok tubuh tinggi besar legam, berjalan yang makin lama semakin mendekat.

Lalu Dengan obor ditangannya dinyalakan dua obor lain yang menempel pada dinding goa. Tak terlalu jauh dari tubuh Dewaya sehingga terlihatlah dengan jelas kedua muka orang yang datang itu, yang satunya berbadan tegap dan kekar, agak sedikit gemuk dengan wajah rimbun penuh dengan bulu-bulu sedang yang satunya bertubuh kurus, jangkung dan wajahnya hanya di hiasi sebaris bulu kumis yang tipis, namun di pipinya ada bekas goresan luka bekas benda tajam.
Namun mata kedua orang yang di hadapan Dewaya terlihat sangat mengerikan, pandangannya tajam seperti burung gagak, yang siap mencabik-cabik bangkai.
"Hai, di tempat macam apakah aku ini....?" tanya Dewaya seketika tak sabar, kepada dua orang tersebut.
"Tak usah banyak tanya, kau ini hanya tawanan yang sebentar lagi kepalanya akan kami penggal...." Jawab salah seorang diantara mereka yang bertubuh besar dan muka rimbun menyeramkan, dia adalah Sowala salah satu dari dua kepala rompak yang berkuasa di tempat itu selain satunya lagi adalah kakaknya Sandata.
"Hai, apa salahku, hingga kau mau memenggal kepalaku....?"
"Sudahlah kau diam saja."
"Tapi kalian belum tahu siapa kami, kami adalah para resi yang dapat menuntun hidup kalian kejalan terang, jalan yang lebih baik dari pada sebagai rompak,"
"Itu tak penting, kami tak perlu jalan hidup yang baru karena kami telah menjalani kehidupan begini semenjak dahulu. Semenjak nenek moyang kami."
"Tetapi paling tidak kalian punya alasan mendasar untuk membunuh kami, kami tak bersalah."
"Ya memang kalian tak bersalah, tapi begitulah kebiasaan kami, 'jika kau salah dalam mengambil keputusan, maka kami tak segan-segan untuk memenggal kepalamu'." Ucap yang satunya lagi yang bertubuh jangkung, yang tak lain adalah anak buahnya.
Lalu keduanya terdiam hanya matanya yang tajam seperti mata burung gagak itu memandang dari balik kegelapan. Sama seperti Dewaya yang juga hanya sanggup memandangi kedua tubuh yang menyambanginya, sambil hatinya berteka-teki apa benar kebiasaan mereka begitu, 'membunuh seenaknya', lalu bagaimana dengan nasib anak buahnya.
"Sekarang, kau lepaskan rantai-rantainya!!" kata Sowala kepada anak buahnya. Dan hal itu membuat hati Dewaya tambah berdegub kencang, "apakah hari peradilannya telah tiba?" Yang artinya mereka semua akan memenggal kepalanya sekarang.
"Baik, Tuan....", maka segeralah orang diperintah pun menuruti Sowala, melepaskan rantai-rantai yang mengikat tubuh Dewaya yang menempel dinding ceruk, namun selain rantai-rantai agaknya masih ada tali-temali lain yakni dari pohon rosela yang dianyam dengan serat rotan yang melilit di sepanjang tubuh Dewaya, mengikat sedemikian eratnya.
"Sudah tuan, sudah terlepas!!" orang itu melaporkan. Namun rantai yang membelenggu tangannya masih tetap.
"Baiklah; sekarang kita bawa orang ini kealun-alun, cepat....!!!" maka tanpa banyak ucap lagi orang tersebut segera menyeret tubuh Dewaya yang telah lemas lunglai menuju keluar goa.

Ajisaka srayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang