Sementara itu, Larasati yang darahnya mudanya masih panas, nampak tak mampu mengendalikan kesabarannya, dia ingin buru-buru segera sampai ketempat kejadian. Kudanya dipacu dengan kencang tanpa menghiraukan apapun.
Tetapi yang di rasakan justru sebaliknya, kuda yang ia tunggangi seolah berubah menjadi kura-kura, seakan berlari sangat pelan sehingga terkadang nafas Larasati berdesis menahan kesabaran, "Huh... kuda payah," gumamnya.
Sambil mengeluarkan sumpah serapah namun terus saja kudanya dipacu tanpa henti, tak perduli jalan-jalan di hadapannya yang sebenarnya berbatu, tak hirau pada gerumbul semak-semak serta pohon-pohon peredu yang berjajar agak pepat di sepanjang jalan menuju desa Sumber Jaya, ia tak menoleh kanan kiri, dengan harapan agar segera sampai dan bertemu sang pembikin onar.
Lalu sampailah kemudian matanya melihat, dari kejauhan ada beberapa orang berlarian seperti hendak menyelamatkan diri, tepat di jalan yang akan ia lewati. Pertama-tama yang tampak hanya satu-dua orang, tapi kemudian semakin di dekati semakin bertambah dan banyak. Mereka, rata-rata perempuan, baik yang muda, ataupun yang tua, berlarian, berhamburan, panik, bahkan ada yang sambil menggendong momongannya dan ada juga tangan yang satunya sembari mengandeng anaknya yang telah bias berjalan.Mata Larasati seperti dipaksa untuk terbelalak, kaget, hingga bola matanya seolah hendak tersembul keluar dari lubangnya ketika melihat rumah-rumah warga yang roboh seperti baru saja terserang angin puting beliung, tak jauh di ujung desa api menyala. Laras berhenti menuntun kudanya, yang ternyata titik api tidak cuma satu tapi ada di tiap sudut, disana-sini asap mengepul dan bau daging terbakar. Dan juga semakin banyak pemandangan ibu-ibu yang menggendong anaknya, yang menangis karena dicekam ketakutan ditinggal bapaknya yang hendak menyelamatkan harta mereka seperti, kambing, kerbau, ataupun sapi.
Serta beberapa orang yang berlarian kesana-kemari gugup mengambil air seadanya untuk memadamkan rumahnya yang terbakar, tapi ke gugupannya memaksa mereka; yang rumahnya terbakar tersebut kepada keadaan yang pasrah, tidak tahu harus bagaimana menghentikan api yang tengah melahap rumahnya itu tanpa bantuan seorangpun. Ya, tak ada seorang-pun yang membantunya karena mereka; yang lainny-pun sama sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Mata Larasati yang seolah tak sanggup menyaksikan kejadian tersebut berputar menuju ke satu tempat di mana banyak orang bergerombol, namun ia masih berada di atas punggung kuda namun lajunya sudah pelan. Mula-mula ada salah seorang dari mereka yang terkejut saat melihat kedatangan Larasati — yang masih duduk di pelana.
“Den Ayu Laras,” sapa salah seorang dari mereka.
Dan yang lainnya pun ikut melayangkan pandangan kearahnya, sampai kemudian hampir semua mata jadi tertuju padanya.
“ada serombongan orang yang memorak-porandakan kampung ini, Den Ayu. Tapi… mereka telah pergi sekarang.” ucap yang lainnya.
“Ya, mereka semua telah pergi,” kata yang lainnya lagi mengamini.
“Apakah diantara kalian ada yang mengenal, salah satu dari mereka?” tanya Larasati, sembari matanya berkeliling melingkari, memperhatikan semua yang ada di tempat itu, yang tepatnya di perkampungan nelayan Sumber Jaya.Sebagian warga memang ada yang sekedar luka ringan tapi tak sedikit pula yang terluka parah, bahkan ada yang terbaring sekarat, ditengah kerumunan, dan kini tengah diobati oleh seorang tabib dari Dukuh itu yang bernama Ki Taroja.
“Tidak Den Ayu. Kami semua tidak mengenal mereka,”
“Bagai mana tampangnya orang-orang tersebut?”
“Mereka lebih dari Duapuluh orang. Wajah-wajah mereka semua terlihat pucat seperti mayat, berpakaian serba hitam serta… mengerikan.”
“Ya… ada diantara mereka yang berambut panjang dan merah seperti api, aku pikir dia itulah pemimpin mereka. Orangnya sangat mengerikan.” kata yang lainnya memotong, seolah menegaskan kenyataan yang mereka semua lihat.
“ya.. aku juga melihat dia. Malah dia memberikan bogem mentah di pundakku, ini.” sambung seseorang yang tengah terlentang, di obati oleh Ki Taroja, “Pemimpin mereka itu benar-benar sadis, orangnya tingi besar dan rambutnya merah seperti api."
"Hem… aku rasa, di antara kami tidak ada satupun yang kenal, tapi apa jangan-jangan....”
"Apa, ad apa Tongta...?" Tanya temannya kepada orang yang bernama tongta tersebut.
"Jangan-jangan mereka orang-orang dari Nusa Agni...."
"Nusa Agni...?"
"Ada benarnya, Den Ayu."
Namun sejurus kmudian, suasana tempat Laras berkerumun semakin ricuh ketika makin lama semakin banyak orang-orang yang berdatangan ketempat itu untuk minta bantuan kepada Ki Troja yang kini tengah mengobati beberapa orang lagi. Namun ketika mereka mendapati disitu ada Larasati tak urung mereka semua jadi mengerumuni Larasati yang kala itu masih saja berada di punggung kudanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajisaka sraya
Historical FictionHukum adalah sebagai timbangan dan keseimbangan buat kehidupan manusia dan juga buat jagad raya ini, anakku. Karena ada hukum yang lahir bukan dari kesepakatan bersama antar mausia, yakni hukum alam. Sedangkan hukuman adalah, penjabaran dari sebuah...