ㅡ (4)

11.1K 1.4K 622
                                    

Ketika kamu bahagia, maka semua hal akan terasa menyenangkan.

Tapi, ketika kamu sedih, semua hal yang menyenangkan bisa saja berubah menjadi sesuatu yang sangat kamu takuti.

Seperti apa yang sedang Jihoon rasakan sekarang ini. Bahagia? Tentu. Siapa yang tidak merasa bahagia saat seseorang yang kamu sayangi menciummu begitu dalam seolah-olah kamu adalah sesuatu yang amat sangat berharga baginya?

Sedih? Tentu. Siapa yang tidak sedih saat seseorang yang sangat kamu yakini bahwa dia tak akan pernah bisa membalas perasaanmu, saat ini sedang bersikap seolah-olah ia sangat menyayangimu? Rasa takut dibohongi itu datang lagi. Mengkoyak kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh di hati Jihoon.

Takut? Tentu. Jihoon takut, jika ia harus kembali terjebak pada situasi dimana ia tidak bisa lari dan bersembunyi lagi. Jihoon takut, usahanya selama ini untuk melupakan Guanlin menguap begitu saja dan berganti dengan perasaan yang seharusnya sudah mati sejak 2 bulan lalu. Jihoon takut untuk mengulang masa-masa sulit itu.

Jihoon semakin memejamkan matanya saat salah satu tangan Guanlin menyentuh tengkuknya. Mendorongnya sedikit, membuat ciuman mereka semakin dalam.

Tetes air mata lain berhasil tumpah saat Jihoon membuka bibirnya, membiarkan Guanlin untuk mendominasi ciumannya. Jihoon mencengkram erat ujung jaket yang dipakai Guanlin, saat bibirnya sendiri berkhianat dan membalas kecupan demi kecupan yang Guanlin berikan.

Dibalik ciuman manis mereka, Jihoon bergumam dalam hatinya; ini ciuman pertama mereka. Ini ciuman pertama Jihoon. Ini ciuman pertama Guanlin.

Jihoon memincingkan salah satu alisnya saat dirasa bibir Guanlin semakin berusaha untuk memasuki bibirnya. Jihoon menutup rapat bibirnya, membuat Guanlin memundurkan wajahnya sedikit. Jihoon membuka pejaman matanya secara perlahan, dan tatapan sendu Guanlin adalah hal pertama yang dapat dilihatnya. Jihoon menunduk, pasti deh semburat merah udah memenuhi wajah sensitifnya ini.

Guanlin mengukir senyum miring di wajahnya. Ia mengusap lembut puncak kepala Jihoon, lalu mencabut kunci motornya. Guanlin turun dari motornya dan meraih pergelangan tangan Jihoon. Jihoon melirik tangan Guanlin yang melingkari pergelangan tangannya. Tanpa ia sadari, seuntai senyum kecil terbit di bibir mungilnya.

Mereka melangkah berdampingan sambil bergandengan mengitari sungai Han. Langit mulai gelap, dan suasana semakin ramai. Guanlin mengeratkan genggamannya, lalu menoleh pada Jihoon yang sedang sibuk melihat-lihat keramaian di sekelilingnya.

"Haus nggak, ndut?"

Jihoon menoleh pada Guanlin, "sedikit."

Guanlin mengedarkan pandangannya, mencari tempat atau pedagang yang menjual minuman. Ah, disana! Guanlin kembali menatap Jihoon sambil mencubit gemas hidung Jihoon.

"Duduk disini dulu ya, ndut. Gue beli minum dulu." ucap Guanlin.

Jihoon mengangguk sambil tersenyum.

Beberapa detik berlalu, tapi Guanlin belum juga pergi. Jihoon melirik tangan mereka yang masih saling terpaut. Jihoon terkekeh, lalu menyentuh tangan Guanlin dan berusaha untuk melepaskan genggaman mereka.

"Ngapain sih, ndut?" tanya Guanlin.

"Lo yang ngapain, ceking! Katanya mau beli minum, tapi tangan gue nggak dilepas-lepas." balas Jihoon.

Guanlin memanyunkan bibirnya, "udahan nih gandengannya?" tanya Guanlin, dengan ekspresi wajah yang dibuat sesedih mungkin biar bisa dapat simpati dari Jihoon.

Mäuschen; GuanHoon✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang