ㅡ (8)

9K 1.1K 430
                                    

Jihoon membuka pejaman matanya. Tangannya bergerak untuk menarik selimut yang ia pakai agar menutupi seluruh tubuhnya sampai ke bagian dagu. Jihoon menghela nafasnya pelan, lalu matanya beralih menatap ke langit-langit kamarnya.

Remang-remang, teduh, hening, cukup menggambarkan perasaan Jihoon saat ini. Nafasnya menderu dengan teratur, seiring dengan gerak bola matanya yang melirik ke sudut-sudut langit kamar. Bayang-bayang saat bertengkar dengan Guanlin di sekolah tadi kembali terngiang di dalam pikiran Jihoon. Sebenernya, Jihoon udah ngantuk, tapi belum ngantuk-ngantuk banget. Jihoon cuma pengen cepet-cepet nyelesain acara video call-an nya sama Guanlin, nggak kuat, belom siap untuk natap wajah Guanlin terlalu lama.

Jujur, masih sakit aja rasanya. Mau bilang Jihoon lebay lagi? Iya nggak apa-apa, silahkan aja. Nggak ada yang ngelarang juga. Cuma, berada di posisi Jihoon itu nggak gampang. Disaat banyak orang bertemu dengan kasus yang sama; ditolak meski udah berjuang, kasus yang justru dihadapin Jihoon malah sebaliknya. Hm, at least, orang-orang yang patah hati karena terlibat kasus yang udah disebutin diatas, lebih beruntung. Karena mereka, seenggaknya, pernah berjuang. Jihoon? Baru aja mau berjuang, eh malah dibikin jatuh duluan. Berjuangnya belum mulai, nyerahnya udah duluan. Kenapa?

Roda itu berputar. Semua yang pernah ada diatas pasti lama-lama bakal turun juga ke bawah. Bukannya kodratnya emang begitu?

"Guanlin,"

Yang Jihoon harapkan adalah senyum lebar Guanlin yang memperlihatkan gusi lebar dan deretan giginya yang rapi... Tapi, yang Jihoon dapatkan justru tatapan datar Guanlin. Tatapan yang nusuk tepat ke dalam manik matanya, tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa. Saat itu, jantung Jihoon berdetak dengan sangat cepet, hampir sama kayak pas Jihoon lari sprint, pas pengambilan nilai ulangan pelajaran olahraga. Terus berdetak nggak karuan, sampai Jihoon ragu, dia tuh masih nafas apa nggak. Lebay? Biarin. Jihoon ngeblank saat itu juga.

"Lo nembak gue, Hoon?"

Di depannya, Guanlin bertanya, dengan intonasi berat, yang membuat Jihoon harus menelan salivanya dengan susah payah. Baru aja Jihoon mau ngangguk, tawa Guanlin pecah duluan dan seolah dunia runtuh di atas kepala Jihoon saat itu juga. Guanlin lagi ketawa di depannya, gede banget, sampai anak-anak yang lain mulai memusatkan perhatiannya ke arah pintu kelas Guanlin, tempat dimana Jihoon lagi berdiri berhadapan sama Guanlin sekarang.

"Terus, lo pikir gue mau?"

Jantung yang daritadi berdetak cepet banget kayaknya sekarang udah berhenti berdetak, deh. Respon yang diberikan Guanlin adalah respon yang nggak pernah terbesit di bayangan Jihoon sekalipun. Guanlin menunduk, mendekatkan wajahnya dengan wajah Jihoon. Senyum miring terbit di ujung bibirnya, "jangan mimpi, Jihoon." Jelas, padat, biadab.

Mäuschen; GuanHoon✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang