Mark Twain lahir saat komet Halley tampak di langit tahun 1835, dan meninggal saat komet yang sama kembali muncul tujuh puluh lima tahun kemudian. Tapi aku sudah lama mati sejak kehilangan Kensha di seberang jalan. Dan aku yakin aku bakal hidup kembali kalau saja aku bisa melihat Kensha hadir di trotoar yang sama saat ini.
Ketika aku masih kanak-kanak, kebanyakan murid berteman denganku hanya karena mobil-mobilan dan kudapan di lemari es. Aku tinggal di rumah besar di atas bukit. Mansion kuno yang dibeli ayahku dari seorang pria berkebangsaan Belanda. Rumah itu dulunya sebuah tempat peristirahatan seorang Gubernur Jenderal. Ayah mengerahkan banyak pekerja untuk memperbaiki taman, membangun sebuah lingkar jembatan, dan lapangan golf dengan lima buah lubang. Di sisi timur, Ibuku menanam berpetak-petak anggur dan stoberi. Ia membangun pondok kecil yang eksotis, dengan bunga-bunga rambat yang bergelantungan di pinggir danau. Aku suka duduk berlama-lama di sana, memandangi kecuap mulut-mulut ikan yang mungil, menikmati gemericik air mancur dari patung dewi Romawi, dan mencelupkan kedua kakiku yang telanjang di permukaan danau. Hingga ibu muncul di jendela dapur dan menyuruhku masuk karena hari sudah gelap.
Di sekolah, aku bisa berpura-pura pada diriku sendiri sebagai Archibald Craven, pemilik Misselthwaite Mansion di Yorkshire, hanya saja semua orang tak menyukaiku karena ayahku kaya raya. Aku tak pernah berinteraksi secara wajar dengan teman sebayaku, kebanyakan mereka menyeretku ke belakang Sekolah, menggeledahku, dan mengambil apa yang bisa mereka ambil.
Aku selalu tergoda untuk melakukan perlawanan. Meninju mereka, menendang bokong mereka, dan melakukan semua daftar kekejian yang pernah mereka lakukan padaku sejak Sekolah Dasar. Tapi aku tak pernah melakukannya. Aku tak memiliki cukup kekuatan untuk merasakan penderitaan yang lebih hebat. Kalau aku pulang Sekolah dengan luka memar di wajahku, Ibu bakal bertanya apa yang terjadi? Kubilang aku jatuh di lapangan basket.
Sejak seorang gadis di sekolah mengabaikan cokelat yang kutaruh di keranjang sepedanya, aku mulai belajar. Bahwa tak semua orang bisa menyenangkanmu, dan kau tak bisa menyenangkan hati semua orang. Tapi ibu selalu tahu bagaimana caranya membuatku tersenyum. Terutama saat hari-hari hujan dan jalan setapak di taman tergenang air. Aku tak bisa berkuda dengan ayahku, aku tak bisa mengunjungi kolam Dewi Romawi, dan aku tak bakal bisa berbaring di bawah bayangan pepohonan yang menari-nari.
Permainan ini kami sebut 'Berburu Harta Karun'. Ibu bakal menyembunyikan beberapa butir permatanya setiap kami bermain. Aku berperan sebagai kapten Hook, tanpa kait dan penutup mata. Dengan bantuan peta sederhana yang digambar krayon, aku harus menemukan semua butir berlian yang tersembunyi.
Kemudian aku mengumpulkannya di dalam kotak klasik pemberian Kakekku. Dia bilang, dahulu kala peti itu menyimpan sebuah mahkota milik seorang Ratu. Aku tidak heran dengan kenyataan tersebut, aku hanya terkejut saat aku berhasil mengisinya sampai penuh pada hari ulang tahunku yang ke duabelas.
Aku berlari ke kamar ibu, berniat memamerkannya dan mengutarakan gagasanku. Tapi ruangan itu kosong. Seorang pelayan berkata padaku ayah mengajaknya turun ke kota. "Kurasa sebentar lagi mereka pulang." Katanya.
Aku menunggu di pintu depan yang terbuka. Namun hingga lampu-lampu taman serentak menyala, dan langit berubah gelap, mereka tak juga kembali.
Aku mengangkat kotak itu, melihat gerbang untuk terakhirkalinya, dan masuk ke dalam rumah sebelum menutup pintu rapat-rapat.
Para ilmuan berkata alam semesta terbentuk lima belas miliar tahun yang lalu. Tapi dalam versiku, alam semesta tercipta ketika mataku terbuka untuk pertamakalinya, ketika aku melihat ayah dan ibuku tersenyum penuh rasa syukur. Dan berakhir saat aku menutup mata ketika orang-orang mengubur mereka. Menurunkan mereka ke dalam kegelapan bumi yang dingin dan asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ketika Aku Bolos Sekolah
Short StoryKisah tentang senyum di seberang jendela, halte bus, dan dua anak laki-laki bolos sekolah. A small story with a big heart!