Aku mempelajari banyak doa. Kebanyakan dari Papa. Karena sejauh yang kuketahui selama ini, aku dilahirkan sebagai anak laki-laki yang kurang beruntung. Sepulang sekolah, aku banyak menghabiskan waktu di kamar. Meneropong tetangga, membaca komik, nonton teve, dan saat semua kelewat membosankan, aku menutup jendela dan berbaring di sofa.
Suatu hari, ketika aku bolos sekolah karena Ronald mengancam bakal mempermalukanku saat upacara bendera, aku berlutut di bawah jendela, memejamkan mata, dan membuat permohonan. Tuhan, semoga mereka yang bersedih berdamai dengan dukanya. Semoga mereka yang tersesat menemukan jalan untuk kembali.
Tiba-tiba angin menguak jendela perlahan-lahan. Mengirimkan sepetak cahaya di tempatku bersimpuh. Aku membuka mata, pemandangan di belakang rumahku selalu kontras dengan suasana hatiku yang murung. Di bawah sana, di bawah bayangan pohon celangi, aku melihat seseorang anak laki-laki. Bocah berjaket merah yang melambaikan tangannya penuh harap.
"Turun dan keluarlah!" katanya.
Aku keluar dari kamarku dan menuruni tangga dengan ribut, sampai-sampai ayahku mendongak dari surat kabarnya dan mengerutkan kening.
Ketika aku berada di luar, menyongsong cahaya senja dan pepohonan yang tampak keemasan, tiba-tiba aku menemukan alasan untuk tersenyum.
"Namaku Romeo." Badannya jangkung dan matanya begitu sempit. Ia mengingatkanku pada artis Thailand di televisi. "Ibu memanggilku Meo. Tapi kau boleh memanggilku sesuka hatimu."
"Karel Gibrail." Aku menjabat tangannya. "Panggil aku Karel."
"Namamu seperti seorang Raja di seberang lautan."
Aku tersenyum. Papa pernah mengatakan hal yang sama.
Romeo bilang ia baru saja dua hari pindah ke lingkungan kami. Ia tersesat saat berkeliling dengan sepedanya. Ketika ia duduk di bawah pohon celangi, ia melihatku. Kubilang lingkungan kami memang membingungkan, aku mengantarnya sampai ke rumahnya. Jaraknya cuma lima blok dari rumahku.
Sejak itu aku selalu mengunjunginya. Menyapa kedua orang tuanya yang ramah, yang dengan senang hati—bahkan lebih tepatnya memaksa—menunjukkan koleksi replika kapal layarnya pada awal-awal kunjunganku.
Romeo menunjukkan kamarnya di lantai atas. Mengajariku bermain gitar dan membuat akun jejaring sosial di internet. Ia bilang, lingkungannya yang dulu benar-benar payah. Ia hampir tak punya teman. Kubilang nasibku juga sama. Aku bahkan tak mengenal seorangpun anak sebayaku di lingkungan kami. Lebih tepatnya mereka tak membiarkanku mengenal mereka.
Suatu hari, saat Ibu tiriku rewel karena Papa terlambat mengambil gaji, aku duduk di teras rumah. Romeo berjanji mengajakku bersepeda ke atas bukit. Di sana kami bakal menjajali trek-trek menantang, ngobrol tentang banyak hal yang tak bisa kami lakukan di dalam rumah, dan menikmati pemandangan seisi kota dengan teropongku.
Berkali-kali aku melirik jam tanganku. Romeo sudah terlambat setengah jam lalu. Saat aku menyerah, menendang kaleng soda kosong dan hendak masuk ke dalam rumah, akhirnya ia datang sambil terengah-engah.
"Sori, Karel." Ia bilang. "Aku tersesat."
Aku tersenyum, namun senyumku meledak menjadi tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ketika Aku Bolos Sekolah
Short StoryKisah tentang senyum di seberang jendela, halte bus, dan dua anak laki-laki bolos sekolah. A small story with a big heart!