Aku menembus kerumunan orang dewasa yang berjejalan, menginjak kaki seorang bocah perempuan hingga menangis, dan nyaris kehilangan kantong kertasku hanya untuk melihat Pak Tua tertidur tanpa bernafas. Para petugas berseragam mengangkat tubuhnya ke dalam kantong mayat, mengangkatnya di atas tandu menuju ambulan bertabur karat.
"Pria yang malang ... " bisik orang-orang.
"Setiap hari ia berada di sini ... aku sering melihatnya dari etalase tokoku ... "
Aku bertanya pada seorang Polisi apakah ia tak bisa memeriksanya sekali lagi. Mungkin saja Pak Tua tidak benar-benar meninggal. Mungkin saja ia hanya berpura-pura mati karena aku terlambat datang. Tapi petugas itu malah balik bertanya apa aku keluarganya? Aku menggeleng dan menjawab jujur, "Aku tak mengenalnya." Ia meninggalkanku, masuk ke dalam mobil Patroli, dan mengiringi kepergian ambulan dengan sirine meraung-raung.
Kemarin, saat kuceritakan padanya tentang Apel ini, Pak Tua bertanya warna apa baju yang dikenakan bocah misterius itu? Aku sama sekali tak mengingatnya. Tapi sekarang, saat aku berdiri dihadapan garis Polisi, aku mengingat seluruh detailnya dengan sempurna.
Bocah itu mengenakan kaos berwarna secerah samudra.
Pak Tua tak sempat menerima kantong kertasku. Tapi saat kerumunan bubar, aku menemukan kotak kayu di tempat yang cukup tersembunyi. Aku membawanya ke rumah, dan menemukan seluruh bintang di jagat raya terkumpul di dalamnya. Pada waktu yang lain, saat segala sesuatu benar-benar berubah, aku mengeluarkan semua permata yang tersimpan dan menemukan benda lainnya. Sebuah kunci, peta krayon menunju rumah di atas bukit, dan sebuah potret seorang bocah. Ketika aku membuka album lama keluarga kami, dengan perasaan tak menentu dan mata berkaca-kaca, akhirnya aku tahu bahwa bocah di dalam potret itu adalah Papa saat masih kanak-kanak.
Ketika aku bolos sekolah suatu hari, aku berdiri di jalan lingkungan rumahku. Merenungi semua kekosongan yang pernah menjadi ruang bagiku dan Romeo, bagi persahabatan kami yang terjalin di antara gelak tawa dan putaran jari-jari roda sepeda. Kalau ia kembali, aku akan bertanya apakah ia melihat Istana Kristal saat melintasi samudra? Kalau ia kembali, aku akan mengajaknya mengunjungi kastil di atas bukit. Kalau ia kembali, aku akan mengajaknya berlari dan menemukan dunia kami sendiri. Dunia tanpa lingkaran orang-orang bermuka dua, dunia tanpa tekanan dan kekacauan, dunia yang benar-benar sempurna.
Saat aku berada di kamar, apel itu masih terlihat sama. Aku berlutut di bawah jendela kamarku yang tak pernah kujamah, memakannya perlahan-lahan, dan membuat permohonan.
Tuhan, semoga mereka yang putus asa menemukan kembali kekuatan hidupnya. Semoga mereka yang bersedih berdamai dengan dukanya.
Semoga mereka yang tersesat menemukan jalan untuk kembali.
Tiba-tiba angin menguak jendela perlahan-lahan. Mengirimkan sepetak cahaya di tempatku bersimpuh. Aku membuka mata, bayangan pohon celangi menari-nari di wajahku yang kebingungan. Ketika aku berdiri di ambang jendela, aku mengangkat tangan ragu-ragu dan melambai pada seseorang.
Semuanya berlangsung begitu aneh, hingga aku merasa seperti dalam mimpi.
Aku keluar dari kamarku dan menuruni tangga dengan ribut, sampai-sampai ayahku mendongak dari surat kabarnya dan mengerutkan dahi.
Ketika aku berada di luar, menyongsong cahaya senja dan pepohonan yang tampak keemasan, tiba-tiba aku menemukan alasan untuk tersenyum. Aku menemukan alasan untuk mengetahui bahwa dunia akan menjadi lebih baik.
SELESAI ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ketika Aku Bolos Sekolah
Short StoryKisah tentang senyum di seberang jendela, halte bus, dan dua anak laki-laki bolos sekolah. A small story with a big heart!