Ibu meninggal saat aku berumur tiga tahun. Sejak itu, Papa menggantikan posisinya. Mengantarku ke tempat tidur setelah aku mengerjakan PR dan menggambar Jack Skellington. Menyelimutiku, menghidupkan lampu unicorn, dan menceritakan sebuah kisah.
"Papa." Kataku. "Apakah aku bisa memelihara mereka dalam toples kaca dan menaruhnya di atas piano?"
Walaupun kisah favoriku adalah Nuh dan bahteranya, malam itu Papa bercerita tentang seorang malaikat yang tercipta dari es dan cahaya.
"Kau tak bisa melakukannya, sayang." Ia tergelak. Walaupun aku yakin tidak sedang mengatakan sebuah lelucon. "Andai saja kau sebatang pohon celangi di halaman, kau akan terkejut betapa gaduhnya langit karena kepakan sayap mereka siang dan malam."
"Papa." Kataku. "Berapa jumlah mereka?"
"Melebihi butiran debu di muka Bumi." Bisik ayahku.
"Papa ... " rasa kantuk mulai menaklukkanku.
Ia membetulkan letak selimutku, mengunci jendela, dan mengecup keningku.
Ketika aku berhenti mengompol dan tumbuh jerawat, Papa menyisihkanku karena seorang wanita yang kuyakini sebagai penyihir. Kalau ayahku sedang berdua dengannya, ia menganggapku seolah-olah aku tak pernah dilahirkan. Suatu kali aku pernah menyinggung hal ini, Papa menggebrak meja, memelototiku, lalu berkata, "Sialan, Karel! Apa aku harus terus menyebokimu seumur hidupku?!"
Tiba-tiba sesuatu menyumbat kerongkonganku. Papa menatapku dengan gusar, aku membalas tatapannya dan berkata, "Terima kasih untuk semuanya, Papa." Aku naik ke kamarku. "Maaf kalau aku baru bilang sekarang."
Ayahku terdiam. Ia berpaling seolah-olah ada sesuatu yang salah dengan dirinya.
Suatu saat aku pernah menemukan rumahku kosong. Sepanjang minggu itu ayah dan ibu tiriku berpergian tanpa memberitahuku. Sekembalinya mereka, ayah mengomentari kenapa seragamku sobek begitu. Aku membilas mangkuk dan gelas kotor tanpa bicara. Ayah baru saja keluar dari kamarnya dengan mata merah dan rambut berantakan.
Aku merebus air dan membuatkan kopi untuknya.
"Terima kasih." Katanya.
Aku duduk di hadapannya, menontonnya menyeruput kopi buatanku. Saat Papa balas menatapku, aku bertanya kemana saja ia pergi?
Papa bilang bukannya ia sudah memberitahuku, ia bahkan sudah meninggalkan surat dan uang saku di amplop cokelat untukku.
"Aku menaruhnya di meja dapur." Katanya.
"Papa tahu kenapa kemejaku sobek?"
Ia mengerutkan dahinya.
"Aku mencuri dompet seorang pria tua." Aku berusaha keras agar tak menangis. Menunjukkan kelemahanku di hadapannya. "Aku kelaparan, Papa. Kau hanya meninggalkanku cucian kotor."
Aku berlalu dari hadapannya. Meraih baju hangat dan tas sekolahku. Saat aku membuka pintu depan, ibu tiriku berdiri di jendela. Ia menoleh padaku dan tersenyum sinis.
Aku ingin sekali bertanya kutukan apa yang ia berikan pada ayahku. Mantera apa yang ia tiupkan sehingga hidupku kacau begini. Alih-alih aku berpaling penuh kebencian dan membanting pintu di hadapannya.
Kalau sekolah bubar, aku sering duduk di kursi taman dan menikmati saat-saat kesendirianku. Kadang-kadang aku membawa serta susu kotak dan kudapan hangat dari pedagang di pinggir jalan, sambil berpikir betapa banyaknya perubahan yang terjadi pada ayah dan hidup yang telah kami bangun sejak aku fasih berkata-kata.
Taman ini, semua popohonan dan semak-semak berbunga, menjadi saksi bagaimana Papa membesarkanku. Saat aku kecil, ayah mendorongku di atas ayunan, membuatku tertawa terbahak-bahak di arena putar, dan mengajariku naik sepeda untuk pertamakalinya. Pada hari-hari cerah, ia bakal mengajariku menangkap bola baseball dengan tangan kiri dan melempar balik dengan tangan yang lain. Kami bakal bersepeda mengelilingi kota dan sarapan di restoran favorit ayahku saat masih kanak-kanak, Papa juga mengajariku cara berenang dan menahan nafas di dalam air. Tapi saat aku berumur dua belas tahun dan hidup hanya memberiku penyesalan yang hebat, Papa tak mengajariku bagaimana caranya bernafas di udara terbuka. Karena seperti yang kuketahui sejauh ini, itu benar-benar sulit untuk dilakukan.
Aku merindukan Papa yang dulu. Tawanya yang menggugurkan duka di hatiku. Senyumnya yang lebih hangat dari mentari. Uluran tangannya saat aku terjatuh dari sepeda.
Papa yang menyelimutiku, membacakan dongeng tentang raksasa dan tujuh bidadari. Papa yang membalut tanganku saat aku terluka karena pisau Pramuka. Papa yang membuatku merasa aman ketika ia mengecup keningku, berjalan ke pintu dan mengulangi bisikkan Umar ribuan tahun lalu sebelum ia mengubur anaknya hidup-hidup. "Jangan takut gelap."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ketika Aku Bolos Sekolah
Short StoryKisah tentang senyum di seberang jendela, halte bus, dan dua anak laki-laki bolos sekolah. A small story with a big heart!