Saat aku masih kanak-kanak, segala sesuatu terasa mungkin. Maka aku mulai berpikir bagaimana kalau aku jadi Superman. Aku bakal memakai celana yang lebih longgar dan menghalau rudal Israel di Jalur Gaza. Kalau aku jadi Gandalf, aku bakal memakai tongkat sihirku untuk mendatangi semua koruptor dan mencekik leher mereka. Kalau aku jadi pemimpin Amerika, aku bakal mendukung Islam dan mencubit bokong raja-raja minyak yang kikir hingga mereka berlutut dan berkata, "Zionis brengsek!". Kalau aku jadi malaikat, aku bakal menurunkan hujan donat dan susu di rumah anak-anak yang kelaparan. Kalau aku jadi Tuhan, aku tak akan pernah menciptakan neraka.
Saat aku memikirkan semua itu dengan kedua lengan tenggelam di saku celana, sesuatu mendadak menghentikan langkahku. Aku berbalik, menatap ke gerbang besi sebuah taman, dan menemukan seorang bocah laki-laki seusiaku menari-nari di bawah guguran daun. Saat aku mendekat dan mencengkeram pagar, seekor kupu-kupu rupawan terbang mengelilinginya dan hinggap di tangannya yang terulur.
Sejak anak-anak di sekolah menyeretku ke belakang gymnasium dan memukuliku, aku tak pernah tersenyum di luar rumah.
Hari itu aku melakukannya.
Tak lama kemudian Kensha menjadi sahabat baikku. Karena aku terlahir sebagai anak tunggal, maka aku menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Rasanya memang menyenangkan. Kami memiliki banyak sekali kesamaan. Ken selalu mendukungku dan ia berbeda dari bocah lain yang pernah kukenal. Untuk itulah aku benar-benar menyayanginya.
Suatu hari, saat kami berbaring di lantai kamarku dengan bungkus permen dan cokelat yang berserakan, aku menatap langit-langit kamarku yang berhias bintang dan bulan yang berpendar dalam gelap, aku bercerita tentang sabda Sang Nabi. Dahulu kala, saat Harut dan Marut turun ke Bumi, Tuhan mengutuk seorang wanita rupawan menjadi bintang kejora.
"Saat pertamakali aku menemuimu, aku yakin awalnya kau adalah bintang yang paling terang di langit malam." Aku menoleh padanya. Ia menatap hiasan langit-langit kamarku dan tersenyum lebar. "Tuhan tahu aku tak pernah benar-benar memiliki teman, maka ia menurunkanmu untukku."
Ketika kami berusia dua belas, aku sering bolos Sekolah dan meninggalkan kelas sejarah. Kakekku pernah bilang, kadang-kadang Sekolah mengajarimu kebohongan walau kau tak pernah menyadarinya.
Maka sebagai gantinya, aku menarik tangan Kensha dan mengajaknya berlari. Kami sering duduk di bangku taman dan mengawasi lalu lintas merayap pelan membelah kota. Aroma kacang panggang, daging bakar, menyatu dengan asap knalpot dan bau keringat para pejalan kaki yang kepanasan. Suatu kali Kensha tertinggal di belakangku. Aku berteriak memanggilnya dan menyeberang duluan. "Mizan!" Pekiknya. "Tunggu aku ..." Ketika aku berbalik, aku masih melihatnya berdiri di seberang jalan.
Aku tak tahu kalau saat itulah terakhirkali aku bakal melihatnya.
Orang bilang itu karena pengendara mabuk dan truknya yang ugal-ugalan. Orang bilang Kensha tewas karena kecerobohannya sendiri. Tapi aku tak sedikitpun mempercayainya. Walaupun hingga enam puluh tahun kemudian trotoar di seberang jalan itu tetap kosong. Aku yakin suatu saat Kensha akan datang. Tersenyum dan belari menyongsongku. Mengajakku melarikan diri dari Sekolah, dari Dunia-dunia yang sudah terbentuk kaku sejak orang-orang menemukan peraturan dan cara bercocok tanam.
Sampai saat itu tiba, aku akan terus menunggunya di sini, di tempat seharusnya aku berada. Sebuah pengasingan di tengah riuh-rendah kebisingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ketika Aku Bolos Sekolah
Short StoryKisah tentang senyum di seberang jendela, halte bus, dan dua anak laki-laki bolos sekolah. A small story with a big heart!