Seorang pria tua pernah bertanya padaku, berapa lama aku ingin hidup di Dunia? Aku menghela napas, meresapi ruang kosong dalam dadaku, dan berkata padanya bahwa aku sudah lama mati.
Dia menahan diri untuk bertanya lebih lanjut, walau aku memiliki cerita panjang yang perlu ia dengar. Atau ia terdiam untuk sekedar berpikir betapa tololnya ia mengajakku bicara.
"Aku serius!" kubilang.
"Tentu saja." Katanya. "Aku tak pernah meragukannya."
Aku sudah mati sejak sahabatku tenggelam di lautan. Aku sudah mati sejak Amelia mencampakkanku. Aku sudah mati sejak wanita asing menikahi ayahku yang kesepian. Aku sudah mati sejak Ronald melumpuhkanku untuk pertamakalinya di belakang gymnasium. Hingga aku terkapar di rerumputan sebagai, "Pecundang-kerdil!" begitu mereka memanggilku. "Pecundang-kerdil!" aku pura-pura pingsan. Ketika aku yakin tak ada seorangpun di sekelilingku, aku menarik lutut ke dada dan menangis.
Ratusan tahun yang lalu, ketika Nicolaus Copernicus masih bernafas dan buang angin, Bumi mungkin dianggap sebagai pusat alam semesta. Tapi ketika aku berumur dua belas tahun, ada suatu masa ketika aku menganggap Amelia sebagai pusat kehidupanku.
Di Sekolah, aku menjelma menjadi seseorang yang paling dihindari. Mungkin karena kacamata tololku. Tinggi badanku yang kurang ideal. Bakat atletiku yang menyedihkan. Kesukaanku menyendiri dengan buku terbuka dihadapanku. Kulitku yang gelap dan dekil. Penampilanku yang tidak keren.
Ketika aku merutuki hidupku, Amelia memberikan perhatiannya. Dia adalah primadona yang digilai semua murid laki-laki di Sekolahku. "Aku tidak apa-apa." Kataku. Dia sering bertanya bagaimana Ronald memperlakukanku? Aku selalu menjawab dengan kebohongan walau seluruh sekolah tahu aku seperti punch bag bagi bocah itu.
Pada hari ulang tahunnya, aku datang dengan kalung lumba-lumba dan buket mawar yang kubeli dengan uang tabunganku. Amelia membuat wajahku merah. Dia memelukku dan mengucapkan terima kasih. Sampai-sampai guru matematika harus menggebrak mejaku karena aku seperti orang senewen di dalam kelas.
Dalam perjalanan pulang, aku melihat gadis itu bersama Ronald. Mereka tertawa di lorong kelas. Menyebut-nyebut namaku. Aku berpaling dan mencegah pikiran buruk menguasaiku. Namun saat aku berjalan beberapa langkah, aku melihat buket mawarku teronggok di dasar got berlumpur. Dan kalung lumba-lumba itu melingkar di leher patung Polisi di seberang jalan.
Setibanya di rumah, aku berendam di bak mandi dan muntah-muntah. Seolah-olah aku baru saja naik roll-coaster seratus kali. Ketika aku berbaring terbungkus handuk, aku teringat cerita Ibuku saat aku masih sekolah dasar. Sebuah riwayat kuno tentang Dzul Qarnain dan pengikutnya. Mereka memerangi sebuah kaum berkepala anjing dengan taring yang keluar dari mulutnya laksana nyala api. Kemudian sebuah cahaya terang terlihat di laut lepas. Seseorang berkata itu adalah Istana Kristal. Siapapun yang masuk ke dalamnya tidak akan kembali. Mereka akan terkurung di kastil itu dan tertidur hingga waktu menjumpai akhirnya.
Aku mematikan lampu, mengabaikan ketukan ayahku di muka pintu, dan berharap aku bisa masuk ke Istana itu dan membiarkan mantera jahat membuatku tertidur selama-lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ketika Aku Bolos Sekolah
القصة القصيرةKisah tentang senyum di seberang jendela, halte bus, dan dua anak laki-laki bolos sekolah. A small story with a big heart!