Suatu pagi, aku melihat seorang anak lain berdiri di trotoar yang sama. Ia memakai seragam sekolah, menyeberang dengan tenang, dan duduk di sampingku dengan kantung bekal terbuka. "Kau lihat Kensha?" tanyaku.
Dia menggeleng. "Namaku Karel." Katanya. "Temanku bernama Romeo. Dia baru saja meninggal beberapa minggu yang lalu. Anda mungkin melihat beritanya di televisi."
"Kurasa aku pernah melihatmu?"
"Ya. Memang betul." Katanya. "Kita bertemu di belakang pengadilan. Saat itu aku kelaparan dan terpaksa merampas dompet anda."
"Apa kau masih mencuri?"
Ia bilang ia tak pernah melakukannya kecuali saat itu. Lagi pula aku yakin, ia bakal mati babak belur kalau jadi copet. Larinya payah. Aku bahkan bisa menangkapnya saat ia tersangkut di pagar. Karel menangis histeris. Ia pikir aku bakal menamparnya dan menyeretnya ke pos Polisi. Alih-alih aku mengeluarkan semua isi dompetku dan memberikannya padanya. Kubilang aku meminjamkannya, tapi kau tak harus bayar. Saat ia berlari meninggalkanku, aku tahu satu-satunya alasan kenapa aku memilih tak melukainya: Karel mengingatkanku pada seseorang.
Sejak itu ia selalu menemuiku saat aku duduk di kursi taman. Sama sepertiku dulu, anak ini sering bolos sekolah. Ia bilang tak ada seorangpun yang menyukainya. Ia sering diperlakukan dengan buruk. Aku tahu itu tidak adil. Tak ada seorangpun yang boleh menendang bokongnya hanya karena ia mengharamkan diri dari perkelahian dan tak bisa bermain bola.
Karel bercerita tentang ayahnya. Hubungan mereka yang tidak berlangsung baik. Dan mendadak mengingatkanku pada satu-satunya putra yang kumiliki. Sejak Ayah, Ibu, dan Kensha pergi, para kerabat yang khawatir tentang masa depanku merencanakan sebuah perjodohan yang melibatkanku dengan seorang wanita asing. Dia wanita yang baik dan rupawan, sayangnya aku tak bisa memperlakukannya dengan baik. Ia pergi saat kandungannya berusia tujuh bulan.
Sebelas tahun kemudian, aku menerima sebuah surat tanpa nama dan alamat pengirim. Aku membuka amplopnya, mendapati selembar potret seorang bocah laki-laki tampan yang tersenyum manis pada kamera. Saat aku membalik belakangnya, aku menjumpai sebaris kalimat yang tiba-tiba membuatku terluka, "Ini putramu. Dia tak pernah mendengar cerita tentang ayahnya."
"Kenapa setiap hari anda duduk di sini?" tanya Karel. "Anda bisa melakukan hal yang lebih menyenangkan kalau anda mau."
"Aku menunggu seorang teman, Karel." Kataku. "Dan kalau aku boleh berkata, wajahmu selalu mengingatkanku padanya."
Suatu hari ia kembali datang. Kali ini kupikir ia lebih membuka diri ketimbang sebelumnya. Ia sudah terbiasa dengan keberadaanku. Dia tak takut kalau aku bakal mendadak berubah menjadi penjahat kelamin yang menyekap anak-anak seusianya di dalam kamar yang gelap.
"Apa yang paling anda inginkan saat ini?" katanya.
Aku menghela nafas. Memejamkan mata. Aku teringat saat aku dan Kensha berlarian di trotoar. Memekik ke arah langit. Memutari tiang lampu jalan. Dan berlomba ke kursi taman. Aku teringat kilauan matanya yang dalam dan sedingin kutub, aku teringat keceriaannya yang bijaksana, aku teringat permen yang kucuri dari tas Sekolahnya di hari terakhir aku melihatnya, aku teringat kata-katanya saat kami berjanji bahwa kami adalah sahabat selama-lamanya.
"Aku ingin kembali berumur dua belas tahun." Kataku.
Karel menanggapi keseriusanku dengan sungguh-sungguh.
"Kurasa aku bisa mengabulkannya." Ia menggenggam tanganku erat-erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ketika Aku Bolos Sekolah
KurzgeschichtenKisah tentang senyum di seberang jendela, halte bus, dan dua anak laki-laki bolos sekolah. A small story with a big heart!