8. Mizan (Gerimis Permen)

392 68 5
                                    

Karel bilang sore ini ia akan menemuiku. Aku keluar dari Mesjid Raya, mengenakan kaos kaki dan sepatuku. Saat menyusuri pagar berbunga, aku meletakan beberapa keping uang logam di mangkuk penyanyi buta. Saking terburu-burunya, seorang pria botak di belakang kemudi Taksi mengacungkan tinjunya dan menyumpahiku. Aku meminta maaf padanya dan tersenyum, kubilang aku harus menemui cucuku dan mendoakannya agar mendapat banyak penumpang.

Setibanya di kursi taman, Karel belum terlihat. Aku duduk dan membaca Al-qur'an, memberi makan burung-burung dara yang berkerumun di bawah kakiku, dan menghitung berapa jumlah pejalan kaki yang tersenyum padaku.

Saat bayangan pepohonan memanjang dan lampu-lampu jalan serentak menyala, aku mulai ragu ia akan datang. Aku menghela nafas dan mengurut butiran tasbih. Rasanya hari ini aku ingin tersenyum pada semua orang di muka bumi.

Walaupun ini bukan dunia dengan naga dan peri, walaupun Sang Nabi telah wafat ribuan tahun lalu, aku tak pernah meragukan keajaiban. Sebagaimana yang Karel bilang, 'Sebutir-apel-yang-dipetik-dari-langit'. Aku telah mengatakan padanya bahwa aku akan sangat bersyukur kalau aku bisa kembali berumur dua belas tahun, kembali pada kehidupan lamaku, dan memperbaiki semua kekacauan. Tapi seperti yang kuketahui sepanjang hidupku, dunia tak pernah berputar ke belakang. Ia akan senantiasa meninggalkan masa lalu dan menghadirkan masa depan padamu seperti seorang pramusaji meletakan semangkuk es krim di mejamu. Kalau kau berpikir untuk memakannya, kau takkan tahu rasa apa yang bakal kau cicipi. Tapi kalau kau mengabaikannya, es krim itu bakal meleleh. Dan itu sama sekali bukan pertanda baik.

Enam puluh tahun terakhir hidupku, aku selalu menunggu dan bernafas di bawah bayangan. Sejak Karel hadir di seberang jalan, hidupku terasa lebih hangat. Seolah-olah aku berada di padang rumput dengan dua matahari di Timur dan Barat. Seolah-olah bocah itu telah mengulurkan tangannya dan menuntunku keluar dari lingkar bayang kegelapan.

"Terima kasih, Karel."

Aku memejamkan mata, menghela nafas, dan membuang semua penyesalan dan kekecewaan.

Saat aku kembali terjaga, tiba-tiba semua orang di sekelilingku menghilang. Jalanan dan trotoar terlihat lebih bersih tanpa kendaraan dan pejalan kaki. Walau aku tak bisa melihat dimana matahari bersinar, langit terasa hangat dan cerah. Saat aku tersenyum sambil menengadah, sebutir permen jatuh di telapak tanganku. Aku membuka bungkusnya dan merasa takjub. Seumur hidupku aku sudah memakan jutaan permen, tapi permen ini luar biasa istimewa. Bukan saja rasanya yang enak, tapi semakin lama aku mengunyahnya, aku semakin bahagia.

Hingga aku tak begitu sadar saat seseorang memanggilku di seberang jalan. Ia memakai kaos biru cerah, celana pendek warna hitam, dan sepatu warna putih. Sama seperti dulu, ia masih seorang bocah dua belas tahun.

Ia menyeberangi jalan dengan kikuk dan berlari menghampiriku. Saat kami saling berhadapan, ia tersenyum lebar dan menyambut uluran tanganku.

"Kau menepati janjimu." Katanya.

"Aku selalu menunggumu disini." Kataku. "Aku tahu kau akan datang."

Kami berjalan-jalan di sepanjang trotoar, melewati kawasan pertokoan dengan lampu-lampu oranye yang hangat, mengenang saat-saat ketika kami masih berlarian dengan celana pendek dan bolos Sekolah. Kukira aku bisa mengatakan padanya betapa aku benar-benar merindukannya. Betapa semua warna dalam hidupku tersita setelah ia pergi. Pernikahanku gagal karena aku tak bisa membagi kebahagiaan dengan orang lain. Dan karena kesedihanku yang mendarah daging, aku bahkan harus kehilangan kesempatan untuk mengenal seorang pria kecil yang sangat kurindukan. Aku harus kehilangan semua cita-cita masa mudaku: bermain dalam film Francis Ford Coppola, meludahi wajah Salman Rushdie, dan menyulap rumah besar ayahku menjadi sekolah berasrama di atas bukit. Tapi kenyataannya aku hanya bisa bungkam.

Aku tahu Kensha mengetahui semuanya. Itu terlihat dari banyak cara yang mengherankan.

Ketika aku berdiri di etalase sebuah toko, aku tak bisa menahan senyumku melebar. Aku bercermin diri dan mendapati diriku dengan celana jins biru dan kemeja favoritku. Pakaian yang tak pernah kukenakan lagi sejak puluhan tahun lalu.

Aku kembali menjadi seorang bocah; kembali berumur dua belas tahun.

"Kensha, aku telah mencuri permenmu." Mataku mulai meleleh, dan sebelum aku bisa mencegahnya, aku sudah menangis.

"Jangan khawatir," ia melingkarkan tangannya di pundakku, menuntunku ke tempat terbuka. "Di sini kau takkan pernah kekurangan permen."

Tiba-tiba langit bertambah gaduh dan mengagetkanku dengan ledakan cahaya warna-warni yang merambat di perut awan. Ketika kami berdua menengadah, jutaan permen berguguran laksana butiran hujan ...

Hari Ketika Aku Bolos SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang