Romeo tak pernah meninggalkanku. Dia bilang suatu saat kami akan berkeliling Dunia. Menemukan Nekropolis kuno di tengah gurun pasir, menemukan sumber mata air keabadian dalam riwayat Dzul Qarnain, dan membangun sebuah kastil di bukit.
"Bagaimana kelihatannya?" aku mematut kaca di depan cermin.
Hari itu aku berniat menemui seorang gadis di taman hiburan. Aku akan memberinya seikat mawar, mengajaknya naik komidi putar, dan menunjukkan pemandangan seisi kota saat kami berada di puncak ketinggian. Romeo bilang, untuk ukuran anak sebaya kami, aku memiliki selera berdandan yang buruk. Ia mengajakku jalan-jalan ke mall, membeli beberapa pakaian dan sepatu baru. Setelah membersihkan diri, Romeo menyodorkan kemeja dan jins ketat. Dia bilang aku harus terlihat lebih tinggi, aku juga tak boleh terlihat seperti rapper.
Kubilang sepertinya ini takkan berhasil karena aku terlihat tolol. Meo bilang aku keren dengan penampilan baruku. Walaupun saat ia mendorongku keluar, aku merasa seperti orang telanjang. "Semua bakal baik-baik saja." Ia bilang aku hanya perlu terbiasa.
Sayangnya semua berjalan serba kacau. Romeo benar-benar keliru. Satu jam kemudian, ia terkejut menemuiku di bawah pohon celangi. Ia bertanya apa yang terjadi? Kubilang cewek itu mengataiku konyol saat aku terus-menerus memegangi selangkangku karena aku belum terbiasa mengenakan celana sesempit itu. Saat aku mengajaknya makan gulali kapas, hujan turun deras dan membuat jeli rambutku luntur hingga ke mata. Aku mengeluh karena perih, aku tak bisa melihat apa-apa. Dan tiba-tiba cewek itu menampar pipiku karena aku tak sengaja mendorongnya ke dalam got.
Romeo berhenti tertawa. Melingkarkan tangannya di bahuku. Dan duduk menemaniku hingga hari gelap. Saat kami berjalan ke arah yang berlainan, tak ada satupun dari kami yang berkata-kata. Namun saat aku mencapai pintu rumahku, tiba-tiba aku ingat besok ia akan berlibur bersama keluarganya. "Romeo." Kataku. Ia berhenti dan berbalik. "Jangan sampai tersesat."
Ia tersenyum dan mengangguk. Berlari-lari, melebarkan tangannya di bawah cahaya oranye lampu-lampu jalan, dan menyiulkan senandung kekanak-kanakkan. Kalau aku tahu apa yang terjadi selanjutnya, aku berharap ia kembali padaku, dan mengatakan apapun yang harus ia katakan sebelum semuanya terlambat. Walaupun tanganku sudah memutar kenop, aku terus berdiri di ambang pintu, menyaksikan sahabatku menjauh dan menghilang dalam keremangan senja.
Beberapa minggu setelah kepergiannya, televisi dan radio menyiarkan berita tentang sebuah pesawat yang lenyap di perairan. Setiap hari, dalam perjalan pulang pergi ke sekolah, aku melintasi rumahnya. Sesering apapun aku berjinjit di gerbangnya dan mengintip ke dalam, sesering apapun aku memencet bel dan memanggil-manggil Romeo, sesering apapun aku berharap melihatnya di jendela, tak ada tanda-tanda ia akan kembali.
"Kuharap ia hanya tersesat." Bisikku.
Selama ini Papa cenderung jauh dariku. Tapi suatu kali, saat ia melihat lampuku masih menyala lewat tengah malam, Papa masuk ke kamarku dan mendapatiku menangis menghadap tembok. Ia berbaring di sampingku, memelukku, dan berkata kalau ia tak menyadari betapa banyaknya aku tumbuh besar. Aku bertanya apakah Romeo akan kembali? Papa mendekapku semakin erat, ia bilang sepertinya Romeo akan berlibur selama-lamanya.
Aku harus selalu bersiap-siap menerima yang terburuk. Karena seperti Papa bilang, itu salah satu ciri kehidupan. Kau tak akan pernah tahu apa yang bakal kau temukan, kau tak akan pernah tahu apa yang bakal kau hadapi saat kau terus berlari ...
Esok harinya Papa membiarkanku mengurung diri di kamar. Ia mengantarkan sarapan ke kamarku, telur dadar dengan acar dan segelas susu hangat. Aku bertanya kemana ibu tiriku pergi? Ayah tersenyum lesu, merapikan selimutku, dan berkata kalau ia sudah mengusirnya. "Aku tak ingin kau kehilanganku. Seperti yang kualami sejak kecil." Papa menghela nafas dan terbatuk. Tiba-tiba ia terlihat lebih tua dari yang kusadari selama ini. "Kurasa ini yang terbaik untuk kita berdua."
Aku tak tahu harus sedih atau senang. Aku berjalan menghampiri ayahku dan memeluknya. "Kalau kau mau, kau boleh bolos sekolah hari ini?" ia menggosok rambutku dan menyuruhku mandi.
Sepanjang siang, aku duduk di ambang jendela. Menyaksikan para pekerja dengan rompi oranye. Mereka menggali batas jalan dan memasang kabel. Saat mereka sampai di halaman belakang, seseorang menghidupkan gergaji mesin dan menebang pohon celangi kami.
Aku menutup jendela rapat-rapat. Aku tak tahu apakah aku siap untuk membukanya lagi.
Dalam perjalanan ke taman, seseorang memanggilku di celah-celah gedung sempit. Aku mendadak berhenti dan menoleh, bocah itu kira-kira seusiaku. Ia melambaikan tangannya, menyuruhku mendekat.
"Darimana kau tahu namaku?"
"Itu tidak penting." Bocah itu berkata. "Waktuku tidak banyak. Aku memiliki sesuatu untukmu."
"Aku sama sekali tak mengenalmu?" kataku. Tapi entah bagaimana, aku merasakan kedekatan di antara kami berdua. Seolah-olah ia sepupu jauh yang pernah kutemui dalam pesta pernikahan keluarga.
Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebutir apel hijau mengkilat. "Aku memetiknya dari langit." katanya. "Kalau kau memakannya, semua keinginanmu akan terkabul."
Aku menerima apel itu, menimang-nimangnya. Melihat pantulan diriku di permukaannya yang bersih.
Saat aku hendak bertanya apakah ini lelucon, anak itu mendadak lenyap. Aku sendirian di tengah gang kosong itu.
Aku menaruh apel itu seminggu lamanya di atas meja belajar. Setiapkali aku mengamatinya, ia selalu terlihat sama seperti saat pertamakali aku menerimanya. Karena aku bingung dan ragu dengan semua gagasan yang kumiliki terhadapnya, aku menawarkan apel itu pada Pak Tua di kursi taman. Aku tidak sepenuhnya percaya kata-kata bocah aneh itu. Hanya saja aku yakin, kalau aku memberikan apel itu pada Pak Tua, sihir atau apapun yang terkandung di setiap gigitannya akan bekerja.
Walaupun aku menolak, Pak Tua bersikeras memberiku imbalan. Ia akan menukar apel itu dengan harta karun yang sudah ia kumpulkan sejak masih kanak-kanak.
Pada hari yang kujanjikan, aku memasukan apel itu ke dalam kantung kertas, membawanya keluar. Sepanjang jalan aku berlari, mewaspadai setiap pandangan mencurigakan, dan menjaga apel itu seolah-olah aku sedang membawa mahkota Ratu Balqis yang rapuh.
Setibanya aku di trotoar, jalanan macet, kendaraan merayap pelan, beberapa Polisi terlihat membereskan kekacauan. Saat aku hendak menyeberang, aku melihat kegaduhan di seberang jalan. Orang-orang mengerumuni kursi Pak Tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ketika Aku Bolos Sekolah
Short StoryKisah tentang senyum di seberang jendela, halte bus, dan dua anak laki-laki bolos sekolah. A small story with a big heart!