Gempa: Yang Melindungi, Yang Dilindungi (1/2)

1.8K 139 14
                                    

oO)-----------------♦-----------------(Oo

Aku Gempa, bungsu dari tiga bersaudara. Kami terlahir kembar, dan sedari kecil telah mendapatkan anugerah Kuasa Elemen. Yah, sebagian kisah 'kepahlawanan' kami sudah diketahui orang-orang, khususnya para penduduk Pulau Rintis. Kami sudah terbiasa dengan itu.

Hanya saja ....

oO)-----------------♦-----------------(Oo


"Huwaaa ...!"

Teriakan itu membangunkan Gempa dari tidurnya di tengah malam buta. Suara teriakan yang begitu familier, membuat pemilik kekuatan elemen tanah itu segera bangkit dari ranjangnya. Setengah berlari, ia keluar dari kamar, menuju sumber suara. Sempat pula ia melewati kamar lain yang pintunya setengah terbuka, tepat di sebelah kamarnya sendiri. Kamar Taufan. Sepertinya Taufan pun mendengar teriakan tadi, lalu pergi ke tempat asal suara.

Gempa tiba di kamar berikutnya. Kamar paling ujung, di dekat tangga yang menuju lantai satu rumah ini. Sesuai dugaannya, Taufan sudah sampai lebih dulu. Namun, dilihatnya Taufan hanya berdiri diam, tampak ragu.

Beberapa langkah di hadapan Gempa, sosok itu duduk di ranjang dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya menumpu ke paha, terkepal. Gemetar, sama seperti seluruh tubuhnya saat ini. Napasnya pun tersengal. Baru saja Gempa berpikir untuk mendekat, Taufan sudah mendahuluinya.

"Hali?" Taufan memanggil pemuda yang berparas sama dengannya itu—yang juga sama persis dengan Gempa—pelan saja. "Halilintar? Kamu baik-baik aja?"

Gempa ikut mendekat ke sisi ranjang. Dilihatnya, Halilintar sempat tersentak kecil, sebelum akhirnya menyadari kehadiran orang lain di kamarnya.

"Mimpi buruk lagi?" tanya Taufan, sembari duduk di tepi tempat tidur.

Halilintar mengusap wajahnya sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Seolah mencari ketenangan di tengah kekalutan.

"Sorry ... kalian jadi terbangun, ya?" ucapnya lirih.

Baik Gempa maupun Taufan bisa menangkap getaran samar dalam suara saudara mereka. Keduanya hanya saling pandang tanpa berkomentar.

"Kenapa aku ini?" Halilintar mendengus pelan, sinis. "Padahal sudah hampir lima tahun berlalu. Tapi setiap kali mendekati tanggal itu ... tetap saja ... aku ..."

Ucapan itu terputus. Halilintar kembali mengepalkan tangannya. Masih tampak gemetaran. Taufan yang melihat itu, refleks mengulurkan tangan. Namun, begitu ia menyentuh tangan Halilintar, pemuda itu tersentak dan langsung menepisnya.

"Jangan sentuh aku!" desis Halilintar. Dia mendongak, masih sempat bertatapan dengan sepasang bola mata biru milik Taufan yang berkaca-kaca. Masih sempat melihat ekspresi terluka di wajahnya. Namun, ketika detik bergulir, Taufan sudah mengganti ekspresi itu dengan sebuah senyuman.

"Sorry," Taufan berkata dengan nada tanpa beban. "Ya sudah, kalau begitu aku balik ke kamar. Kamu tidur lagi aja. Kamu juga, Gempa. Ini masih tengah malam, lho."

Dengan langkah ringan, Taufan beranjak. Meninggalkan Halilintar yang menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca. Hanya sekejap. Setelah itu, Halilintar menghela napas, lalu beralih menatap Gempa.

"Aku nggak apa-apa, 'kok," katanya.

Sama sekali tidak meyakinkan di telinga Gempa. Getaran itu jelas-jelas masih ada di dalam suara Halilintar. Alih-alih pergi, Gempa malah duduk di tepi ranjang. Digenggamnya tangan sang kakak dengan hangat. Meskipun sempat kaget, kali ini Halilintar tidak menolaknya.

Layaknya Cahaya KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang