Gempa: Yang Melindungi, Yang Dilindungi (2/2)

1.4K 126 13
                                    

Gempa berlari menuju halaman belakang sekolah. Yaya mengikutinya dari belakang. Bahkan sampai detik ini pun, ia masih tak percaya pada pendengarannya. Tidak sebelum dia melihatnya sendiri.

Halilintar dan Taufan berkelahi?!

Itulah yang dikatakan Yaya tadi. Bagaimana bisa? Gempa tak habis mengerti. Ia tahu, sejak dulu hubungan kedua kakaknya memang 'unik'. Mereka adalah dua pribadi yang bertolak belakang, tak pernah bisa akur. Namun, Gempa juga tahu, keduanya saling menyayangi, walau tak pernah diungkapkan. Hanya, hubungan mereka memang merenggang sejak 'kejadian itu'. Dan mereka seperti menjaga jarak.

Karena itulah, aneh kalau tiba-tiba mereka berkelahi. Masih di area sekolah, pula! Bukan berarti mereka tidak pernah berkelahi sebelumnya. Seperti saat pertama kali Taufan membangkitkan kekuatan sejatinya. Dia lepas kendali, sehingga Halilintar terpaksa coba menghentikannya dengan kekerasan.

Oke, itu beda. Gempa menggelengkan kepala. Kebiasaan buruknya kalau sedang panik, pikiran pasti melantur ke mana-mana. Ah, sebentar lagi sampai ke halaman belakang.

"Tombak Halilintar!"

"Cakhra Udara!"

"BERHENTI!!"

Tepat ketika kedua serangan itu akan dilepaskan, Gempa berteriak. Ternyata suaranya mampu menghentikan pertarungan. Baguslah, setidaknya Halilintar dan Taufan masih mau mendengarkannya.

"Hali! Taufan! Ada apa ini?" Gempa mendekati kedua saudaranya. Sedangkan Yaya memilih tinggal, agak jauh di tepi. "Kenapa kalian berkelahi?"

"Gempa?" Taufan menyahut lebih dulu.

"Jangan ikut campur!" Halilintar menyentak.

"Aku pasti akan ikut campur!" Gempa menatap mata kakak-kakaknya dengan sorot yang tak kalah keras. "Apa-apaan serangan tadi itu? Kalian mau saling bunuh? Hah?!"

"Cih!" Halilintar melenyapkan tombak yang berkilat-kilat merah di tangannya. Cakhra udara Taufan juga sudah batal dikeluarkan. Diam-diam Gempa menarik napas lega. Bagaimanapun mengeluarkan kedua senjata elemental sekuat itu memang sudah berlebihan.

"Sudah kubilang, jangan ikut campur," Halilintar berkata dingin.

"Minggir, Gempa. Biar kuberi pelajaran manusia satu ini!"

Gempa terpana. Apa benar barusan Taufan yang bicara? Namun, ia tak sempat berpikir lebih lanjut. Kata-kata seperti itu sudah jelas akan menyulut amarah Halilintar lebih jauh.

"Apa katamu?!"

Tuh, 'kan.

"STOP!" Gempa mengeluarkan nada suara paling tegas yang dimilikinya. "Sekarang jelaskan padaku, ada apa?"

Halilintar mendengus.

"Aku hanya bertanya soal—" Kata-kata ini terputus ketika Halilintar menangkap sosok Yaya dari sudut matanya. Gadis berhijab pink itu sedang berdiri di bawah pohon, agak jauh di pinggir halaman luas ini. "Aku hanya bertanya. Dia saja yang bereaksi berlebihan."

Taufan tertawa kecil. Sinis, berbeda dengan tawanya yang biasa. "Aku atau kau yang berlebihan? Dengar. Selama ini aku diam saja. Tapi asal kau tahu, Hali—" Taufan mengucapkan nama saudaranya dengan cara yang tidak menyenangkan, "—aku sudah muak dengan segala keegoisanmu itu!"

"Hoo ... Berani kau sekarang bicara seperti itu padaku?!"

"Huh! Kenapa mesti takut?"

Ekspresi Halilintar mengeras. Sorot matanya pun menajam. Kilatan-kilatan merah tampak menari-nari di jemarinya. Taufan yang menyadari itu pun diam-diam bersiaga. Suasana tenang mendadak menyelimuti tempat itu. Namun, Gempa—bahkan juga Yaya—bisa merasakan sesuatu yang buruk akan segera datang.

Layaknya Cahaya KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang